ZIARAH KE ISTANA RATU JIN RINJANI

Minggu, 7 Januari 2007, pukul 3 dinihari, saat sebagian besar penduduk Desa Sembalun Lawang masih lelap dalam tidurnya, dua mobil Kijang Senia yang membawa kami berenam akhirnya tiba di depan kantor pendaftaran Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Kami akhirnya bisa melepaskan ketegangan saraf-saraf kaki setelah menempuh perjalanan selama 4 jam lebih dari Bandara Selaparang (Mataram, Lombok). Suasana di sekitar kantor yang mirip rumah itu sangat sepi. Pintunya pun tertutup rapat. Karena tak melihat adanya tanda-tanda “kehidupan” di kantor itu, kami memutuskan untuk beristirahat pada bale (saung) yang tersedia di sebelah kanan kantor itu. 

Saat baru saja meletakkan tas-tas kerir di atas papan-papan tebal saung, kami dikejutkan oleh suara Dedi Setiawan (ketua tim pendakian kali ini). “Gawat!” katanya. Karena penasaran, kami berlima langsung menghampiri Dedi yang saat itu sedang menatap kertas pengumuman yang menempel pada dinding kayu kantor pendaftaran. “Mulai tanggal 3 Januari 2007 hingga batas waktu yang belum dapat ditentukan, Gunung Rinjani tertutup untuk aktivitas pendakian.” Itulah inti dari beberapa baris tulisan yang ada pada kertas pengumuman tadi. Perasaan tak percaya, kecewa, kesal, dan pasrah tiba-tiba saja bergumul dan menyatu di dada kami.


“Sudah, sudah. Santai saja. Yang penting kita istirahat dulu. Nanti kalau hari sudah terang, baru kita omongin lagi gimana caranya supaya dapat izin,” kata Imam Wahyudi, rekan satu tim sekaligus fotografer dalam pendakian ini. Beberapa menit kemudian, kami mulai sibuk memasukkan seluruh anggota badan ke dalam sleeping bag dan merebahkan tubuh pada saung yang kira-kira berukuran 2½ x 3 meter itu. Kondisi badan sudah sangat letih. Suhu 12 derajat Celsius yang menyergap dan perut yang sudah lama tidak terisi juga tidak kami hiraukan. Suara jangkrik dan sepoi angin dingin mengiringi suara dengkur kami yang “bersahut-sahutan”.

Sekitar dua jam kemudian, suara knalpot dan deru kendaraan pengangkut sayuran dan suara penduduk desa yang berlalu-lalang memaksa kami terjaga. Menyadari bahwa suasana di sekitar kantor TNGR semakin riuh, kami pun mulai melipat sleeping bag masing-masing dan memasukkanya ke dalam kerir. Tak lama kemudian, seorang petugas kantor TNGR menghampiri kami. Setelah berbasa-basi, ia lalu menjelaskan perihal pengumuman larangan pendakian yang tengah diberlakukan.

Cuaca buruk yang acap mengundang badai, tanah longsor, dan pohon tumbang dalam beberapa pekan terakhir menjadi dasar bagi pelarangan pendakian itu. Bahkan, beberapa hari sebelum kami meninggalkan Jakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika sudah menyampaikan bahwa badai Isobel akan melintasi Indonesia Bagian Tengah. “Beberapa hari lalu, awan-awan tebal gelap sudah sering kelihatan di sini,” tutur seorang penduduk Desa Sembalun yang mendampingi si petugas kantor tadi.

Untungnya, larangan itu bukan “harga mati”. Tidak turunnya hujan dalam tiga hari belakangan di kawasan TNGR, cuaca yang selalu cerah, dan rasa toleransi terhadap para pendaki, menjadi faktor positif yang membuat petugas pos tadi memberikan izin kepada kami untuk melakukan pendakian. Tapi sebelumnya kami diwajibkan menandatangani surat pernyataan yang intinya menyatakan bahwa pihak TNGR tak bertanggung jawab apabila para pendaki mengalami kecelakaan. “Oke! Deal,” kata salah seorang dari kami dengan antusias.

Selanjutnya, kami diharuskan membayar retribusi tanda masuk Rp 5.000 per orang. Tarif tadi hanya berlaku bagi wisatawan lokal. Sedangkan bagi wisatawan asing, harga retribusinya mencapai enam kali lipat. Gila! Sekadar informasi, setiap tahunnya, TNGR disambangi sekitar 5.000 wisatawan. Sekitar 2.000 pengunjung di antaranya adalah wisatawan mancanegara.

Setelah perizinan beres, kami mulai melakukan persiapan dan mengecek perbekalan. Tak lupa, kami juga menyempatkan diri untuk mencuci muka dan menggosok gigi (suasana dan kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk mandi). Imam dan Daye (nama panggilan Muhamad Hidayat, yang kali ini bertugas sebagai Danpur alias Komandan Dapur) berinisiatif membeli logistik yang masih kurang ke sebuah pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari kantor TNGR.

Guna meringankan barang bawaan, kami menyewa dua porter, namanya Amak Juhedi dan Amak Yusuf. ‘Amak’ adalah nama depan bagi pria dewasa penduduk Pulau Lombok (kalau di Jakarta biasa disebut ‘Mas’). Tarif untuk masing-masing porter waktu itu adalah Rp 60 ribu per hari, dan kami berniat menyewa mereka untuk empat hari ke depan. Selain mengangkut barang, porter yang merupakan warga lokal Desa Sembalun Lawang itu juga menjadi pemandu dan juru masak. Setelah sarapan, packing, dan berpamitan dengan beberapa staf kantor TNGR, kami bersiap-siap melakukan pendakian.

Pendakian Dimulai
Untuk mencapai puncak Rinjani, ada dua jalur utama yang biasa digunakan, yakni jalur Sembalun Lawang dan jalur Senaru. Sedangkan jalur alternatifnya adalah jalur Sesaot, Bayan, dan Torean. Tapi jalur-jalur tadi jarang ditempuh para pendaki, hanya penduduk sekitar yang sering melintasinya untuk mencari kayu bakar dan kegiatan ritual keagamaan di Gunung Rinjani. Kami memilih jalur Sembalun Lawang karena treknya tidak panjang dan tidak terlalu curam.

Sekitar pukul 10 waktu setempat, kami berenam plus dua orang porter mulai meninggalkan kantor TNGR yang ada di ketinggian 1.156 mdpl menuju pos pertama (Pos 1). Trek yang pertama kami temui adalah jalan aspal kasar dengan panjang kira-kira 1-2 kilometer. Nun jauh di depan kami, “si topi caping” (Gunung Rinjani) berdiri dengan angkuh. Kami menamakannya topi caping karena bentuk gunung ini memang mirip topi caping bila dilihat dari kejauhan.

Ketika tubuh mulai terasa agak lelah, kami beristirahat di pinggir jalan, “berlindung” pada gundukan tanah dan tingginya ilalang agar tak tersengat cahaya matahari. Setelah puas melepas lelah dan dahaga, serta ngobrol ngalor ngidul, kami kembali bergerak. Di ketinggian sekitar 1.300 mdpl, kami mulai melintasi bentangan sabana dengan trek yang masih landai. Beberapa kali kami bertemu dengan penduduk setempat yang sedang menggembalakan sapi-sapinya.

Menurut data riset yang kami peroleh di Jakarta, waktu tempuh dari kantor TNGR Sembalun menuju Pos 1 hanya satu setengah jam. Tapi faktanya kami baru mencapai tempat itu sekitar tiga jam kemudian. Boleh jadi, waktu satu setengah jam tadi diperuntukkan bagi pendaki yang menyerahkan seluruh bawaannya kepada porter. ”Kalau bule, satu orang didampingi dua porter,” kata Amak Yusup, salah seorang porter yang mendampingi kami. Di Pos 1 yang hanya berupa saung kecil tak berdipan itu, kami kembali beristirahat untuk makan siang. Di sekeliling kami, “karpet” hijau muda terhampar.

Setelah tenaga pulih, perjalanan pun dilanjutkan. Kabut cukup tebal menemani perjalanan kami. Melewati Pos II (jembatan), kami hanya berhenti sebentar untuk sekadar meneguk air dan menghela napas panjang. Menjelang magrib, kami tiba di Pos III. Sebenarnya, target kami hari itu adalah menginap di Pos IV Plawangan Sembalun, yakni pos terakhir menjelang puncak.

Sayang, kondisi fisik kami tak memungkinkan untuk dipaksa terus melaju karena kami semua kurang tidur. Apalagi, selain hari sudah mulai gelap, trek yang terbentang di muka pun cukup terjal. Tingkat kemiringannya sekitar 45 derajat.Apa boleh buat, kami memutuskan untuk menginap di Pos III. Lokasi pos pada ketinggian 1.800 mdpl ini berada di bawah tebing yang cukup tinggi, di tepi sebuah bekas sungai yang sudah lama mengering. Kendati suhu mencapai 12 derajat celsius, cuaca saat itu sangat bersahabat. Di langit, bulan yang masih tersisa setengah mengintip di antara hamparan bintang.

Senin, 8 Januari 2007, pukul 6 waktu setempat, suara teriakan beberapa ekor monyet membangunkan kami. Ternyata tenda kami sudah dikelilingi beberapa ekor monyet yang ingin mencuri makanan. Sedikit saja lengah, makanan yang ada di dalam tenda bisa berpindah tangan ke monyet-monyet itu. Hitung-hitung olahraga pagi, kami mengusir monyet-monyet itu dengan cara melemparkan batu tanpa mengenai tubuhnya.

Kira-kira pukul 10:00 waktu setempat WITA, setelah sarapan, kami kembali bergerak menuju pos selanjutnya, Pos Plawangan Sembalun. Jalur menuju lokasi itu lumayan berat. Ada sekitar sembilan bukit dengan tanjakan terjal menanti para pendaki. Tak aneh bila para pendaki menamai bukit itu dengan sebutan “Bukit Penderitaan”. “Di kalangan pendaki, jalur yang penuh tanjakan ini populer disebut “Tanjakan Penyesalan,” kata Amak Juhedi. 

Tanjakan Penyesalan
Kenapa dinamai tanjakan penyesalan? Menurut Amak Juhedi, tak sedikit pendaki yang menyesal karena tidak menyiapkan fisik yang prima sebelum mendaki, terutama saat harus melintasi tanjakan ini. “Banyak pendaki yang menyerah sampai di sini,” ujarnya. “Padahal, kalau sudah melewati puncak tanjakan ini, kita sudah dapat melihat Danau Segara Anak,” katanya lagi.

Selepas beristirahat di Plawangan 1, kami melanjutkan pendakian menuju Plawangan 2. Sekitar 100 meter dari Plawangan 2, jalan setapak yang kami lalui terbagi menjadi dua jalur. Jalur yang lurus adalah jalur menuju Plawangan 2. Sedangkan jalur yang berbelok ke kanan adalah jalur menuju Danau Segara Anak. Dari Plawangan 1 ke Plawangan 2, waktu yang dibutuhkan kurang dari setengah jam.

Lembayung senja menyambut kami di Pos Plawangan 2. Di tempat yang ada pada ketinggian 2.639 mdpl ini tersedia camping ground. Tapi saat itu tidak ada satu pun tenda atau pendaki lain di pos ini. Karena saya dan Amak Juhedi lebih dulu sampai di pos ini, maka kami berdua langsung berinisiatif membuka kerir dan mulai mendirikan tenda di samping batu cadas besar yang posisinya menghadap jurang. Di hadapan tiga tenda yang kami dirikan terhampar pemandangan yang selama ini kami cari-cari: Danau Segara Anak serta Gunung Baru Jari.

Dinamakan Danau Segara Anak karena air danau ini tampak berwarna biru bagaikan anak lautan. Danau yang luasnya mencapai 11 juta m2 ini memiliki kedalaman sekitar 230 meter lebih. Kata Amak Juhedi, di danau yang tampak tenang ini terdapat banyak ikan mas dan mujair, sehingga masyarakat setempat dan para pendaki yang memancingnya. Tak jauh dari danau, terdapat air terjun Kokok Putih dan air panas yang sering dikunjungi orang untuk pengobatan.

Danau Segara Anak menyimpan berbagai misteri dan kekuatan gaib. Konon, hal itulah yang menyebabkan banyak orang merasa betah berlama-lama di danau ini. Masyarakat lokal percaya, di danau ini bermukim makhluk gaib dalam jumlah besar. Mereka juga percaya, apabila danau ini tiba-tiba kelihatan sangat luas, maka usia orang yang melihatnya masih panjang. Dan sebaliknya, bila danau itu kelihatan kecil, maka usia orang yang melihatnya bakal singkat. Di danau ini pula, saban tahun masyarakat setempat–baik yang beragama Hindu Bali maupun orang-orang dari suku Sasak yang beragama Islam—dua kali mengadakan upacara keagamaan.

Malam terlalu cepat merambat. Di langit, jutaan bintang seolah menunggu giliran untuk jatuh. Kendati pemandangan itu sangat sayang bila dilewatkan, keterbatasan waktu memaksa kami agar segera beristirahat. Setelah berembuk dengan kedua porter, tim memutuskan akan melakukan summit attack pada jam 2 dini hari. “Kalau kesiangan tiba di puncak, saya khawatir anginnya kencang sekali,” tutur Amak Juhedi.

Summit Attack
Selasa, 9 Januari 2007, pukul 2 dini hari, kami sudah siap tempur. Didahului sarapan ringan dan teh hangat yang dilanjutkan dengan untaian doa, kami lantas berjalan beriringan menembus kabut dan suhu 4 derajat celsius menuju puncak.
Memasuki ketinggian 3.200 m dpl, udara dingin yang bertiup terasa menggigit kulit. Toh kami terus mendaki medan yang menanjak dan berpasir. Dengan tenaga yang tersisa, akhirnya sampailah kami di sebuah punggungan yang agak datar dan gersang. Di sebelah kanan dan kiri hanya terdapat jurang yang seolah siap menelan pendaki yang tak berhati-hati. Di punggungan itu, kami beristirahat sejenak sambil kembali mengumpulkan tenaga.

Mendekati titik puncak, tanjakan semakin terjal. Kemiringan trek kurang lebih 45 derajat. Terpaan angin yang kian deras sempat menciutkan nyali. Sengatan matahari pagi pun mulai terasa di kulit. Menapak di tanjakan campuran kerikil dan pasir yang sangat panjang ini, ternyata sangat sulit dan melelahkan. Sebab, setiap dua atau tiga ayunan langkah, kaki pastilah terperosok mundur selangkah. Bahkan kadang kedua tangan pun harus digunakan untuk merangkak naik (situasi seperti ini membuat saya teringat pada trek summit attack ke Gunung Semeru). Meski demikian, kami berusaha terus melangkah setapak demi setapak. Apalagi, titik puncak Rinjani sudah tampak di depan mata.

Tepat pukul 07.10 pagi, kami tiba di puncak Rinjani. Di ujung kerucut gunung inilah, menurut kepercayaan masyarakat Lombok, bersemayam ratu jin bernama Dewi Rinjani. Dari puncak yang luasnya 3 x 7 meter ini, kami melihat hamparan pemandangan yang selama ini hanya dapat kami nikmati melalui internet ataupun kartu-kartu pos bergambar. Di sebelah barat, tampak Pulau Bali dengan Gunung Agung-nya. Di sebelah timur terlihat Selat Alas dan bayang-bayang Gunung Tambora. Di bawah kami, Danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari masih setia pada kesunyiannya masing-masing. ***(Bonny Dwifriansyah dan Dedi Setiawan,  2007)

*****************************************************************************









         






































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman