KUNANG-KUNANG DI SEMERU

Sore di kantor,  Oktober 2004. Ada salah satu berita pada koran harian Kompas yang membuat saya senang bukan kepalang. Inti dari berita itu: “Gunung Semeru telah dibuka kembali untuk pendakian”. Langsung saja saya datang ke ruang perpustakaan untuk menemui Daye dan Kelik. “Woi, Semeru udah dibuka lagi nih. Jadi dong kita ke sana?” kata saya. Daye dan Kelik langsung mengecek berita yang saya maksud tadi. Tak berapa lama kemudian, mereka berdua tampak sumringah. “Akhirnya jadi juga kita naik ke Semeru. Cihuiiii,” seru Daye yang dilanjutkan dengan tawanya yang khas.

Rencana awalnya, hanya kami bertiga—saya sendiri, Mohamad Hidayat, dan Kelik Prakosa–yang akan melakukan pendakian. Tapi, karena saya ingat ada seorang kawan—namanya Dony Tjiptonugroho, redaktur bahasa di koran harian Media Indonesia–yang mau ikut bergabung, maka saya ajaklah dia sehingga jumlah kami jadi empat orang. Dan setelah melewati banyak diskusi, akhirnya kami sepakat berangkat ke Malang dengan menggunakan kereta api kelas ekonomi.

Menginjak hari H di bulan November pasca-Lebaran, dengan semua peralatan yang ada, kami berangkat ke Stasiun Kereta Api Senen. Karena datang terlalu awal, kami harus menunggu di peron selama dua jam. Iseng-iseng, TTS jadi objek pengisi waktu luang saya. Lantaran hari itu adalah hari kedua Lebaran, tak aneh bila jumlah calon penumpang sampai membludak. Kebanyakan mereka adalah pemudik. Ada juga beberapa rombongan pendaki dengan kerir-kerirnya yang besar. Tapi saya tidak tahu apakah mereka juga akan mendaki Gunung Semeru.

Kereta Matarmaja yang kami tunggu akhirnya datang. Susah payah kami masuk ke dalam kereta dan mencari kursi kosong. Tapi sial, semua kursi sudah ada “penunggunya”. Malah, banyak juga penumpang yang terpaksa harus berdiri. Terpaksalah kami mengganjal sebuah pintu kereta api dengan tas-tas kerir untuk dijadikan sebagai “markas”. Akhirnya,sebuah lorong sempit di depan pintu kereta–yang seharusnya jadi tempat masuk para penumpang—menjelma menjadi “base camp” sementara kami. 

Perjalanan dari Jakarta ke Stasiun Malang membutuhkan waktu sekitar 24 jam lebih. Sungguh perjalanan yang melelahkan dan menyebalkan karena keretanya terlalu sering berhenti. Untungnya, di dalam kereta, kami bertemu dan berkenalan dengan beberapa rombongan pendaki yang juga berniat mendaki G. Semeru.

Sampai di Stasiun Malang, kami mencarter sebuah angkot menuju Desa Tumpang. Desa Tumpang adalah tempat di mana tersedia jeep-jeep yang biasanya digunakan sebagai alat transportasi para pendaki menuju base camp G. Semeru. Pak Yono adalah orang yang mengelola semua jeep-jeep tadi. Dan, alamak, ternyata jeep yang kami tumpangi itu bisa dinaiki hingga 15 orang plus tas-tas keril yang lumayan besar-besar. Ondemande!

Berdasarkan pengalaman saya saat mendaki ke G. Semeru pada tahun 1999, perjalanan dari Desa Tumpang menuju base camp Gunung Semeru memakan waktu sekitar 3-4 jam dengan trek yang terus menanjak.

Pohon-pohon Apel yang dahan-dahannya menjuntai hingga ke bahu jalan raya, hutan-hutan lebat, dan jurang di kanan kiri jalan, serta bukit-bukit yang berderet memanjang, seharusnya semua itu tersaji di sepanjang perjalanan menuju base camp. Namun sayang, saat kami berangkat dari Pasar Tumpang menuju base camp, waktu sudah menunjukkan pukul 19.30 waktu setempat. Sehingga di kanan kiri kami yang tampak hanyalah kegelapan malam—meskipun dari kejauhan kami masih dapat melihat bentuk bukit-bukit yang diterangi sinar rembulan.

Benar saja, selang waktu 3 jam kemudian, sampailah kami di base camp. Base camp tempat kami harus melapor ini terletak di ketinggian 2.200 mdpl dan berada di antara rumah-rumah penduduk Desa Ranu Pane. Bagi para pendaki, Ranu Pane merupakan desa terakhir sekaligus tempat peristirahatan dan pendaftaran sebelum bergerak ke Puncak Mahameru. Sekitar 100 meter sebelah kiri kantor pendaftaran, terbentang sebuah danau yang biasa disebut Ranupane. Warna permukaan danau ini hijau dan di pinggir-pinggirnya banyak berseliweran tanaman eceng gondok. Sebenarnya ada lagi danau di sekitar desa ini, namanya Ranu Regulo. Tapi untuk melihatnya kita harus berjalan kaki ke lereng bawah sekitar 15 sampe 20 menit dari pos pendakian.

Pendakian Dimulai
Setelah bermalam dan mengurus semua pendaftaran pendakian, kami mulai mendaki pada pukul 10 pagi waktu setempat menuju Ranu Kumbolo yang jaraknya sekitar 13 km dari Desa Ranu Pane. Waktu itu kami memang terlambat memulai pendakian. Cuaca yang terik menyergap kami selepas meninggalkan base camp. Untunglah setelah beberapa menit berjalan, kami memasuki hutan yang lumayan lebat.

Jalur menuju Ranu Kumbolo sebagian besar landai. Lereng bukitnya didominasi semak-semak dan alang-alang. Di jalur ini tidak ada tanda penunjuk arah jalan. Untungnya, di setiap beberapa ratus meter kami menemukan tonggak yang terbuat dari semen berwarna putih sebagai penanda bahwa kami berjalan pada trek yang benar. Tiap-tiap tonggak yang kami temui itu menginformasikan ketinggian medan yang sedang kami lintasi.

Setelah sekitar 4–5 jam berjalan, akhirnya sampailah kami di sebuah tikungan. Dan di balik tikungan itu tampaklah Ranu Kumbolo, danau yang dianggap sebagai maskotnya Gunung Semeru. Saat melihat danau itu, Daye berteriak: Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar…!!! Hehehe, asal tahu saja, si Daye ini sebelumnya agak-agak “sekuler”. Malah, saat itu juga dia bilang, “Bon, Tuhan itu emang ada Bon…” Dalam hati saya bertanya, “ini orang emang beneran sekuler atau cuma malas jadi orang alim? Bingung juga sih. Tapi sekarang, saat saya menulis cerita ini, saya tahu sebenarnya Daye itu enggak sekuler. Dia biasa-biasa aja kok. Enggak “merah” dan enggak “hijau” banget. Buktinya, saya sering banget ngeliat dia solat di kantor (meskipun banyak bolongnya juga).

Ranu Kumbolo
Balik lagi ke cerita. Tepat di balik tikungan tadi, kami bisa dengan jelas melihat keseluruhan bentuk danau lengkap dengan pos shelternya yang tampak sangat kecil di seberang sana. Kami berhenti sebentar, bergeming selama beberapa menit sambil mengatur napas yang tersengal-sengal dan mengembalikannya ke ritme normal. Subhanallah. Cuma satu kata itu yang bisa saya ucapkan saat melihat danau ini untuk kedua kalinya setelah lima tahun tak ‘bersua’.

Lima menit kemudian, saya langsung menuruni bukit, menerobos semak dan ilalang setinggi lutut, dan mencari tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda di tepian danau. Setelah menemukan tanah yang datar, teduh, dan letaknya sedikit lebih tinggi dari permukaan danau, kami pun mulai mendirikan dua buah tenda. Daye tidur satu tenda dengan Kelik. Sedangkan saya satu tenda dengan Dony.

Sebenarnya, untuk para pendaki yang ingin berkemah, ada tempat yang lumayan nyaman, yakni di pos shelter berupa bangunan rumah sederhana yang ada di seberang danau tempat kami berkemah ini. Tapi, berdasarkan pengalaman pendakian di tahun 1999, bangunan dari kayu itu biasanya disesaki para pendaki. Karena itulah saya memutuskan lebih baik mendirikan tenda di tempat yang jauh dari pos shelter supaya lebih leluasa dan tidak terlalu gaduh. Dan benar saja, ketika malam datang, dari seberang danau, kami lihat banyak lampu senter berkedip-kedip di sekitar pos shelter tadi. Banyak sekali pendaki yang bermalam sana.

Pagi harinya, sekitar pukul 6, saat saya bangun dan keluar dari tenda, permukaan danau tampak mengepulkan asap beku seperti asap yang keluar dari es balok. Saya menebak-nebak, pasti airnya sangat dingin. Saya lihat Dony tengah asyik menjepret ke sana-sini dengan kamera SLR plus tele-nya. Dari jauh, dia memanggil saya dan meminta saya menjadi “korban” eksperimen foto-fotonya. Berkali-kali saya disuruh geser ke sana-geser ke sini dan jalan ke sana-jalan ke sini sambil membawa tripot. Fuhhh…!

Tak terasa, kami berdua sudah sampai ke sisi kiri danau yang jaraknya kira-kira 200 meter dari tenda. Saat itu saya sadar bahwa pemandangan dari sisi kiri danau juga tidak kalah menakjubkan. Pagi itu, permukaan danau penuh dengan kilauan cahaya bak mutiara yang indah, sangat indah. Kilauan itu berasal dari pantulan sinar matahari yang berusaha menembus air.

Tak lama berselang, dari kejauhan, saya melihat Daye dan Kelik baru saja bangun. Tampaknya mereka juga tidak mau melewatkan momen pagi hari itu. Kelik berjalan sambil membawa kamera SLR di tangan kanannya. Kalau saya dan Dony hunting gambar dengan menyisiri pinggir kiri danau, sementara Kelik dan Daye justru menyisiri sisi kanan danau. Dari jauh, mereka berdua melambaikan tangannya ke arah saya. "Bonteeelll....! Ngapain loooo....?" kata Daye dengan berteriak. Meskipun jarak Daye lumayan jauh, saya dapat mendengar suaranya dengan jelas.

Tanjakan Cinta
Siang menjelang sore, setelah selesai makan siang, mandi, dan mengepak kerir, kami mulai bergerak meninggalkan Ranu Kumbolo menuju Kalimati (2.700 m). Saat akan melewati pos shelter, Daye sempat berhenti sebentar karena merasa terbebani oleh jerigen berisi air bersih yang dibawanya. Akhirnya saya menawarkan diri membawa jerigen itu. Kami sengaja membawa banyak air karena di sepanjang trek menuju Kalimati tidak ada air.

Beberapa langkah dari tepi Ranu Kumbolo, Tanjakan Cinta sudah menanti. Tanjakan ini kelihatannya pendek. Tapi, untuk mendakinya, ampun deh, lumayan capek, karena nanjak teruuusss!!!! Konon, ada anggapan bahwa orang yang bisa mencapai puncak tanjakan tanpa menoleh ke belakang, maka semua permohonannya akan terkabul.

Tapi siapa yang tahan untuk tidak menoleh ke belakang. Sebab, panorama yang terhampar di belakang Tanjakan Cinta sangat mempesona. Dari puncak tanjakan itu, danau Ranu Kumbolo tampak dikelilingi bukit-bukit hijau, mirip taman Teletubbies. Pos shelter pendaki yang kami lewati tadi kelihatan sangat kecil, mirip dadu kecil di atas hamparan rumput. Subhanallah.

Di ujung Tanjakan Cinta, sambil menarik napas dalam-dalam, Daye senyam-senyum sendirian. Karena merasa heran, langsung saja saya bertanya, “Kenapa lu senyam-senyum begitu Ye”? Dengan bangganya dia bilang, “Bon, tadi waktu naek dari bawah ke sini, gue sama sekali enggak berhenti dan enggak nengok ke belakang. Berarti semua permohonan gua bakalan dikabulin, hehehe.” Saya ikut tertawa setelah mendengar ucapannya tadi. Lalu saya bertanya lagi, “Emangnya waktu nanjak tadi elo mohon apaan?” Ditanya begitu, Daye cuma cengengesan, dia nggak mau jawab. Halah…!

Di balik Tanjakan Cinta, savana yang ketinggian rumputnya mencapai pinggang orang dewasa serta barisan hutan cemara gunung siap menyambut kami. Daye dan Dony kelihatan terperangah.

Padang rumput yang luas ini dikenal dengan sebutan Oro-oro Ombo. Saya dan Kelik–mungkin karena sebelumnya sudah pernah mendaki G. Semeru—kelihatan tidak terlalu heboh seperti Daye dan Dony. Dan karena waktu tepat siang hari dan cuaca sangat terik, kami berempat memutuskan tidak menyusuri padang rumput itu, tapi kami berbelok ke kiri dan menyusuri jalan setapak di pinggir bukit.

Setelah melintasi Oro-oro Ombo, kami memasuki hutan yang dikenal dengan sebutan Cemoro Kandang. Treknya cukup bervariasi. Terkadang landai melewati tanah berdebu dan di kanan-kiri jalur penuh semak, lalu menanjak, sebelum akhirnya memasuki hutan cemara yang berpohon tinggi tapi berdaun jarang sehingga panas matahari tetap mengenai kulit.  Di hutan ini, banyak pohon-pohon tua dan kering yang sewaktu-waktu bisa tumbang. Perjalanan dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati lumayan jauh dan biasanya bisa ditempuh dalam waktu 4 jam dengan jarak tempuh sekitar 10 km.

Kalimati
Setelah empat jam berjalan, kami tiba di pos Kalimati. Sebenarnya, saat hari masih terang, dari Kalimati ini, puncak Mahameru bisa terlihat dengan jelas. Bahkan guratan pasir yang memanjang dari bawah menuju puncak juga bisa terlihat dengan jelas.

Sayangnya, lantaran kami tiba di Pos Kalimati pukul 19.15 waktu setempat, kami hanya bisa melihat jutaan bintang yang berserakan di langit. Dengan senter sebagai penerang, kami berempat berusaha mencari sebidang tanah yang bersih dari semak-semak untuk mendirikan tenda.

Beruntung, kami berkenalan dengan rombongan pendaki lain yang juga berasal dari Jakarta, dan dipersilakan mendirikan tenda bersebelahan dengan tenda mereka. Bahkan, mereka bersedia menjaga tenda kami bila kami berempat meninggalkan tenda menuju puncak Semeru dinihari nanti. Setelah mendirikan tenda, memasak, dan makan malam, kami pun menyempatkan diri untuk tidur selama beberapa jam sebelum summit attack.

Pukul 2 dini hari kami memaksakan diri untuk lepas dari balutan sleeping bag. Rasanya saat itu kami masih sangat membutuhkan beberapa jam lagi untuk tidur. Maklum, setelah lelah seharian berjalan dan tidur hanya 2 jam, seluruh badan masih terasa pegal. Tapi, karena keadaan yang mengharuskan, akhirnya kami paksakan diri bergerak ke luar tenda dan bersiap-siap.

Arcopodo
Pukul 2.15 dini hari, dengan berbekal pakaian hangat, senter tangan, head lamp, masker, kacamata hitam, air minum dalam botol plastik, makanan ringan secukupnya, dan alat dokumentasi, kami mulai bergerak menuju Puncak Semeru. Waktu tempuh dari Kalimati ke puncak Semeru sekitar 5 jam dengan trek terus menanjak. Sebenarnya, berangkat dari Kalimati pada pukul 2 dini hari termasuk terlambat. Sebab, idealnya, para pendaki yang berangkat dari Kalimati harus mulai bergerak sekitar pukul 12 malam.

Untunglah saat itu bulan bersinar terang sehingga kami cukup terbantu saat melintasi jalur menuju Arcopodo yang curam dan rawan longsor. “Pos” Arcopodo di ketinggian 2.900 mdpl bisa kami lalui dengan mudah meskipun harus mengantre dengan rombongan pendaki lain.

Arcopodo berada pada ketinggian 2.900 mdpl dan merupakan batas vegetasi. Sehabis area batas ini, tidak ada lagi tumbuhan yang hidup. Yang ada hanya pasir dan bebatuan. Meski demikian, ada satu pohon cemara yang masih kami temui di area gersang ini, namanya Cemoro Tunggal.

Saat melintasi Pos Arcopodo, saya baru tahu bahwa jumlah pendaki yang bergerak menuju puncak Semeru sangat banyak. Maklum, saat itu masih masa-masa libur panjang pasca Idul Fitri. Selepas Arcopodo, kami sampai di batas hutan yang bernama daerah Kelik. Hehehe, namanya memang sama dengan salah satu teman yang juga ikut pendakian ini: Kelik Prakosa. Belakangan saya tahu bahwa nama “Kelik” diambil dari nama pendaki yang tewas di daerah ini saat membuat jalur pendakian baru. Di daerah ini pula banyak terdapat batu peringatan tentang para pendaki yang tewas di Mahameru.

Di ketinggian di atas 2.900-an meter dan kemiringan medan lebih dari 45 derajat itu, tampak banyak sekali kelap-kelip cahaya senter milik para pendaki yang berangkat lebih awal dan berada jauh di depan kami. Sungguh pemandangan yang tak pernah terbayangkan. Seolah-olah kami semua seperti titik-titik cahaya yang beriringan dan bergerak pelan ke atas menuju ke suatu tempat. Mereka yang berada jauh di depan kami kelihatan kecil tapi menyala bak kunang-kunang. Dan saya yakin, dari atas sana, mereka pun pasti melihat kami seperti kunang-kunang yang pelan-pelan merayap ke atas.

Kami terus mendaki lereng Semeru yang berpasir dengan kemiringan 50-60 derajat. Pendakian menuju puncak benar-benar menguras fisik. Oleh karena itu kami harus pintar-pintar memilih pijakan kaki supaya tidak terperosok ke dalam jurang. Di trek pasir itu, setiap tubuh bergerak tiga langkah ke atas, pasti kita merosot selangkah. Malah, terkadang saya harus “merayap” menggunakan kedua tangan agar bisa naik selangkah atau dua langkah ke atas. Apalagi, udara di ketinggian seperti ini semakin tipis, napas pun semakin tersengal-sengal. Ternyata benar semua yang dikatakan orang-orang: “Tidak gampang mencapai puncak Semeru. Cuma mereka yang bermental kuat saja yang bisa sampai ke sana.”

Ada satu hal yang sangat saya sesali saat itu: lupa membawa gugel alias kacamata pelindung. Sebab, setiap angin kencang datang pasti disertai debu dan kerikil-kerikil. Dan saya terpaksa harus menutup muka rapat-rapat setiap kali angin kencang datang. Muka rasanya sangat perih kalau terhantam “serangan” kerikil-kerikil tadi. Kapooooookkkkkkk.…!

Saat saya mengutuk diri sendiri karena lupa membawa gugel, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah atas: “Awas, batuuu…! Awas batuuuuu…! Terdengar juga teriakan Daye dan Dony yang saat itu berada kira-kira 10 meter di depan saya: “Batuuuu! Batuuu…!!! Bon, awas Bon!” (saya lupa di mana posisi Kelik). Detik itu juga saya mencari tahu apa maksud dari teriakan mereka. Ternyata sebuah batu gunung sebesar tenda doom atau sebesar lemari meluncur dari atas dengan cepat. Seketika itu juga nyali saya ciut seciut-ciutnya. Yang terbayang dalam otak saya saat itu cuma satu: “mati konyol”. Spontan, saya langsung merapat ke batu cadas besar yang ada di samping untuk berlindung. Dan alhamdulillah, batu besar yang menggelinding dari atas tadi berbelok ke arah kanan (kira-kira jaraknya 7 meteran dari posisi saya) dan langsung meluncur cepat ke bawah. Ondemande!

Sempat juga saya menyaksikan seorang perempuan berjilbab nyaris tertimpa batu besar tadi. Perempuan berjilbab itu selamat dari maut karena sempat mendengar teriakan-teriakan dari atas. Menurut saya, peristiwa yang dialami perempuan berjilbab itu sangat aneh. Sebab, perempuan itu sebelumnya sedang duduk beristirahat dengan posisi badan menghadap ke bawah (sepertinya saat itu dia sedang menunggu seseorang). Dia masih sempat menggerakkan badannya ke kiri saat batu besar tadi melintas di sampingnya (menurut saya, jarak dia dengan batu besar tadi hanya beberapa sentimeter). Allahuakbar.

Saya dan semua orang yang menyaksikan kejadian itu langsung bengong, kaku, dan hanya bisa beristigfar. Suwer, hingga tulisan ini saya bikin, saya masih penasaran tentang sosok perempuan tadi: siapa dia dan apa sedang apa dia waktu itu?

Jujur, beberapa saat setelah kejadian itu, saya sempat berniat turun lagi ke bawah dan menunggu di tenda, biar Daye, Kelik, dan Dony saja yang sampai ke puncak. Tapi, karena saya sadar bahwa Mahameru sudah di ada depan mata dan saya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, langsung saja keinginan itu saya tepis jauh-jauh. Dalam hati, saya tekankan kepada diri sendiri bahwa saya harus bisa sampai ke puncak. Gila, masa sih sudah sejauh ini saya harus balik lagi? Apa kata orang-orang nanti? Apa kata temen-temen di kantor nanti? Masa sih di pendakian yang kedua ini saya kembali gagal mencapai puncak? No way! Huh!

Mahameru
Pukul 9.15 waktu setempat, akhirnya saya tiba lebih dulu di Puncak Mahameru. Rasa haru langsung menyelimuti hati saya. Sejenak, ada perasaan tidak percaya bahwa saya telah sampai di atap Pulau Jawa ini. Sebuah perjuangan yang teramat berat dan konyol. Benar-benar konyol.

Beberapa saat kemudian, saya mundur ke belakang dan menengok ke bawah. Dony tampak masih tergopoh-gopoh berusaha menyusul saya. Dan saat Dony tiba di puncak, dia langsung bersujud di atas pasir. Tidak berapa lama sesudah Dony, Daye juga sampai di puncak. Di mana Kelik? Ternyata Kelik tampak sangat kepayahan. Dia masih ada beberapa meter di bawah. Mungkin lima menit lagi dia baru bisa mencapai puncak. Sambil menunggu Kelik, Dony mencoba mengambil beberapa kali gambar dengan kameranya.

Selang beberapa menit kemudian, akhirnya Kelik tiba di puncak. Dia langsung mengambil posisi duduk sambil mengatur napasnya. Mukanya tampak pucat. Daye langsung mendekati Kelik. Dia menanyakan kondisi Kelik dan memastikan bahwa si Kelik baik-baik saja. Daye memang hebat. Di setiap pendakian, dia memang selalu menjadi “dokter” bagi kawan-kawan yang kepayahan. Bravo Daye!

Dari puncak, saya memperhatikan pemandangan nun jauh di sekeliling puncak. Yang tampak hanya arak-arakan awan putih yang menggumpal. Sulit sekali mendapatkan pemandangan yang bersih dari awan. Sebab, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi. Padahal, kalau saja kami tiba di puncak pada pukul 6 atau 7 pagi, mungkin gunung-gunung yang ada di sekitar puncak ini bisa terlihat dengan jelas seperti yang sering diceritakan orang-orang.

Tapi, saat itu, bagi saya, bisa mencapai puncak ini saja adalah anugerah yang sangat besar. Sebab, pada tahun 1999 yang lalu saya gagal mencapai puncak karena terhalang badai hujan. Jadi, pendakian ke Gunung Semeru yang kedua kalinya ini cukup menjawab rasa penasaran saya selama ini.

Suara letupan tiba-tiba terdengar diiringi gumpalan asap pekat bercampur debu. Para pendaki menyebut gumpalan awan itu dengan julukan Wedus Gembel. Luar biasa. Wedus Gembel yang menyembur dari lubang kawah Jonggring Salokoitu sangat tebal dan pekat. Letusannya berupa asap putih, kelabu sampai hitam dengan tinggi letusan 300-800 meter. Peristiwa itulah yang sedang kami tunggu-tunggu. Dengan cepat, kami pun mengabadikannya.

Setelah puas mengambil gambar Wedus Gembel, sebenarnya saya ingin sekali menyisiri dataran puncak sambil mencari tahu apa saja benda-benda yang ada di sana selain tugu Soe Hok Gie, sang legenda.

Tapi sayang, waktu telah menunjukkan pukul 09.40 WIB, pertanda kami harus segera turun supaya terhindar dari bahaya maut gas beracun dan semburan material panas yang tertiup angin. Sebab, biasanya pada pukul 10 ke atas, arah angin sudah menuju ke jalur para pendaki. Kisah usang tentang tragisnya nasib Soe Hoek Gie dan sahabat karibnya, Idhan Lubis, akibat terkaman gas beracun dari kerucut Mahameru cukup membenam keras dalam batok kepala kami berempat. Mereka berdua tercatat sebagai pendaki yang tewas pertama kali di tanah tertinggi di Pulau Jawa ini, yang disusul dengan tewasnya serta hilangnya beberapa puluhan pendaki di tahun-tahun selanjutnya. Hari pun sudah terik, perut sudah sekitar 7 jam tidak diisi, persediaan air sudah tipis, badan semakin payah. Tidak ada alternatif lain, harus cepat-cepat turun.

Selamat Tinggal Mahameru!
Jalur turun dari Mahameru menuju Arcopodo bisa ditempuh kurang dari satu jam. Bagi saya, turun dari Mahameru adalah suatu keasyikan tersendiri. Sebab, treknya penuh dengan pasir dan kerikil-kerikil. Sambil berlari-lari kecil layaknya main ski, saya bisa turun dengan cepat. Bahkan saya melihat banyak para pendaki yang berlomba-lomba lebih dulu sampai ke bawah.

Ketika tiba di Arcopodo, saya baru sadar bahwa Daye dan Dony masih tertinggal jauh di belakang, sedangkan Kelik sudah jauh di depan. Karena saya malas turun sendirian (sekaligus menghindari kejadian-kejadian yang tak diinginkan), saya memutuskan menunggu Daye dan Dony. Cukup lama saya menunggu mereka, mungkin sekitar 45 menit. Dalam hati saya berucap, jangan-jangan mereka kenapa-kenapa.

Tapi kekhawatiran saya tadi langsung lenyap ketika batang hidung Daye dan Dony nongol. Saat itulah Daye memberi tahu bahwa kakinya Dony terserang “otot kaget”. Lutut kaki kanannya terasa sangat nyeri bila digerakkan. Hal itu lumrah bagi pendaki pemula yang belum terbiasa menghadapi medan berat macam Semeru ini. Terpaksalah saya dan Daye berjalan pelan mengimbangi ritmejalannya Dony menuju tenda di Kalimati.

Sampai di Kalimati kami langsung tidur selama beberapa jam. Maklum badan terasa sangat lelah. Menjelang sore hari, kami mulai memasak, makan, dan packing. Sore itu juga, kami harus bergerak menuju Ranu Kumbolo untuk bermalam di sana. Kami sampai di Ranu Kumbolo pada pukul 9 malam.

Sebenarnya malam itu kami ingin beristirahat di dalam pos shelter pendaki. Tapi, sayangnya, pos itu sudah disesaki pendaki. Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, kami mendirikan tenda di pinggir danau, memasak, lalu makan malam. Besoknya, kami terlambat bangun. Pukul 9 pagi kami baru mulai memasak dan makan siang. Menjelang sore hari, barulah kami berangkat menuju Desa Ranu Pane. Kami tiba di Desa Ranu Pane pukul 19.00 waktu setempat.  *** (Bonny Dwifriansyah, 2004)



*********************************************************************************


Ranupane



Ranu Kumbolo



Melintasi Oro-Oro Ombo
Melintasi Oro-Oro Ombo


Sebelum memasuki hutan Cemoro Kandang




Sebelum memasuki hutan Cemoro Kandang



Oro-Oro Ombo dilihat dari hutan Cemoro Kandang


Nge-camp di Kali Mati
Kalimati



Puncak Semeru
Puncak Semeru


Puncak Semeru


Puncak Semeru


Ranu Kumbolo


Ranu Kombolo
Pinggiran Ranu Kumbolo




Pinggiran Ranu Kumbolo
Pinggiran Ranu Kumbolo


Pinggiran Ranu Kumbolo
Pinggiran Ranu Kumbolo
Sekitar Ranu Kumbolo


Bromo


Bromo
Pintu masuk Pura Luhur Poten


Jeep sewaan  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman