(Jangan) Tinggalkan Aku di Gunung!


Sore menjelang maghrib. Rinai hujan memaksa kami untuk segera berkemas dan turun dari puncak Gunung Gede. Belum hilang rasanya lelah di badan setelah dua hari lamanya mendaki gunung –yang bagi pendaki sejati dianggap sebagai tempat latihan dasar–ini. Bahkan, keindahan puncak Gunung Gede yang masih mengeluarkan asap belerang dari dasar kawahnya rasanya juga belum menuntaskan rasa lelah itu. Dengan berat hati, kami harus menyudahi ekstasi yang sungguh tak terkira itu. “Kalau nggak turun sekarang, ntar nggak ketemu jalan turunnya,” ujar Bontel setengah berteriak kepada kawan-kawan untuk melawan suara deru hujan yang mulai turun.

Tapi baru beberapa tapak kaki ini melangkah, rinai itupun akhirnya berubah menjadi hujan yang teramat deras. Butiran-butiran air yang turun dari langit terasa begitu tajam menampar wajah. Dan sialnya, tak berapa lama kemudian, suara guntur yang memekakkan telinga diselingi kilatan petir nan menyilaukan mata turut menambah rasa mencekam di hati. Sesaat, saya masih sempat melirik jam: 17.55 WIB! Suasana di puncak Gunung Gede yang beberapa menit lalu terlihat indah, langsung berubah menjadi gelap pekat.

Hujan ternyata membuat asap belerang dari kawah gunung terasa begitu pedih di kelopak mata. Jika kami tak berdekatan, sulit rasanya untuk bisa melihat teman seperjalanan. Boleh dibilang, posisi kawan hanya bisa diketahui jika ada kilatan petir yang menyambar bumi. Kondisi badan yang masih letih, ditambah hujan teramat lebat membuat sisa-sisa tenaga di tubuh terkuras habis.

Kami –yang notabene adalah kumpulan redaksi dari Majalah TRUST, terdiri dari Febry Mahimza (saya), Andi Reza Rohadian (Kang Jaja), Mohamad Hidayat (Daye), Budi Supriantoro (Butor), Ariyanto, Bonny Dwifriansyah (Bontel), dan Bogi Triadi–tak bisa leluasa saat menuruni punggung Gunung Gede untuk menuju sebuah lembah yang akrab disebut Surya Kencana.

Berbekal arahan dari Bontel yang waktu itu lupa-lupa ingat, akhirnya kami menemukan track turun menuju Surya Kencana. “Seharusnya sampai Surya Kencana hanya butuh 20 menit!” kata Bontel di belakang pundak saya. Padahal, saat melihat jam tangan, waktu perjalanan turun sudah lebih dari 2 jam. Tapi kami belum juga menemukan Surya Kencana.

Berkali-kali saya harus berhenti untuk mengatur napas dan membetulkan posisi tas kerir di pundak. Badan yang letih ditambah belum ada asupan makanan sejak tiba di puncak gunung, membuat saya tak sadar mengucapkan: “Udah lu jalan duluan deh. Gue udah capek banget nih. Udah nggak bisa jalan lagi. Gue mau duduk istirahat dulu, entar gue susul!” Itulah kalimat konyol yang saya ucapkan waktu itu, dan kalimat tersebut masih saya ingat sampai sekarang. Pikiran sudah melayang ke mana-mana. Seolah tak sadar bahwa kondisi hutan saat itu teramat gelap. Tak ada lagi suara-suara binatang hutan yang siangnya terdengar nyaring saling bersahutan. Pandangan mata pun pelan-pelan menjadi kabur. Tenaga benar-benar habis!

Untunglah Bontel yang berada persis di belakang saya nggak mau meninggalkan saya. “Kalo gue tinggal, lo entar mati kedinginan. Pokoknya harus jalan terus!” tuturnya. Terpaksalah saya melangkah dengan kaki terseret-seret, bahkan tak terhitung berapa kali sudah tersandung akar yang melintang di jalan. Tangan dan pipi juga lecet akibat terlalu sering menerabas ranting-ranting pohon. Akhirnya terdengar juga suara-suara manusia di kejauhan. Sejumlah kelompok pendaki yang lebih dulu sampai di Surya Kencana sangat beruntung karena mereka sempat mendirikan tenda sebelum hujan turun.

Kami pun langsung membangun dua buah tenda. Sialnya, lantaran tidak memperhatikan kondisi sekitar, tenda yang kami bangun itu berada di aliran air. Terpaksalah kami tidur dengan kondisi badan basah dan harus menanggung kedinginan. Kang Jaja sempat melihat termometer elektronik yang dibawanya. Dan malam itu, tatkala waktu menunjukkan pukul 9 malam, suhu mencapai 2 derajat Celcius!

Perut langsung berteriak minta diisi. Maklum, semalaman tidur tanpa sempat memasukkan kalori ke badan. Cuma sepiring mie kuah –yang panasnya sudah tak terasa lantaran kedinginan– yang sempat dijadikan ganjalan. Tapi apa daya, Daye selaku komandan logistik masih terlelap dalam mimpi indahnya. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari tenda dan menikmati indahnya sinar matahari pagi berwarna kuning ke merahan yang menyeruak di antara pohon-pohon rindang.

Dengan kondisi badan kedinginan lantaran basah kuyup, terpaksa saya, Ariyanto, dan Kang Jaja tidur dengan posisi rapat. Sementara Butor, Bontel, Daye, dan Bogi saling mencari kehangatan di tenda sebelah. Dinginnya bukan main. Nyaris tak bisa tidur lantaran badan terus menggigil dan gigi bergemeletuk. Pagi, jam 5 subuh, semburat fajar mulai menyinari bumi Surya Kencana. Tapi suhu masih 4 derajat Celcius!

Saat hari mulai agak terang, barulah saya sadari, betapa indahnya alam ciptaan Allah SWT ini. Surya Kencana, boleh dibilang, bak padang rumput nan luas dikelilingi pohon-pohon edelweis. Langsung teringat iklan rokok terkenal: “Welcome To Marlboro Country.” Sungguh, indah sekali pemandangan di lembah ini. Pikiran langsung menerawang ke saat-saat kami menaiki gunung ini dua malam sebelumnya. Ya, kami butuh waktu dua hari dua malam untuk mencapai puncak Gede. Maklumlah, di antara kami, ada beberapa orang yang tidak memiliki pengalaman secuilpun tentang mendaki gunung, kecuali “gunung kembar” tentunya.

Dan pada pendakian ini, masing-masing dari kami memiliki pengalaman unik. Bogi misalnya, si bayi sehat itu sempat terjerat oleh akar besar yang menggantung di ‘Tanjakan Setan’. Sebenarnya, Bontel sempat mengusulkan kepada dia untuk mengambil jalan memutar. Tapi, teman-teman yang lain memutuskan untuk memanjat tanjakan yang tingginya sekitar 10 meter dengan kemiringan mencapai 90 derajat itu.

Bogi yang bertubuh agak bongsor dengan susah payah akhirnya bisa mencapai setengah dari tinggi tanjakan. Namun, entah mengapa, ia terbelit oleh akar yang menjadi tumpuan tangannya. Butuh waktu 10 menit lebih baginya untuk bisa mencapai puncak tanjakan. Sementara, hujan rintik-rintik membuat tanjakan semakin licin. Padahal, masih banyak anggota tim yang belum naik. Di antaranya adalah saya, Kang Jaja, dan Butor. Sementara Bontel, Daye, dan Ari sudah menunggu di atas tanjakan terjal itu.

Bogi jugalah yang menghilangkan sabun kesayangan saya saat buang air di kali. “Gueburu-buru, abis tadi ada suara cewek yang mendekat,” ujarnya beralasan. Peristiwa unik juga dialami Daye dan Butor saat buang air besar di pos Kandang Batu. Soalnya, waktu Daye boker di pinggir semak-semak, ada serombongan pendaki yang melewati dirinya. Posisi Daye yang persis di pinggir jalan membuatnya terlihat jelas oleh rombongan tersebut. dengan senyum-senyum menutupi malu, ia malah menyapa mereka, “Hai sorry ya, gue udah kebelet,” katanya dengan cengengesan. Sementara Butor yang posisinya bokernya agak jauh dari lintasan pendakian kelihatan tenang-tenang saja.

Sakit perut yang lama saya tahan langsung hilang berganti dengan derai tawa yang tak ada hentinya. Yang bikin saya tak habis pikir, kok bisa-bisanya si Bontel, Ariyanto, Kang Jaja, Butor, dan Daye tidak merasakan lelah. Sementara bagi saya dan Bogi, bisa bernapas lempeng saja udah alhamdulillah. Begitu pula saat menuruni punggung gunung untuk kembali ke titik penjemputan. Daye, Butor dan Bontel turun dengan setengah berlari. Bahkan Daye dan Butor seolah saling adu kecepatan untuk menjadi yang terdepan.

Pemandangan kebun wortel, bayam dan  kangkung segera membuat tenaga kami yang sudah habis menjadi segar kembali. Maklum, itu berarti kami sudah dekat dengan rumah penduduk. Saat melintasi kebun itu, kami berpapasan dengan belasan anak “borju” dari SMA Al-Azhar yang ingin mendaki gunung Gede. Semangat mereka masih nyala membara dengan peralatan relatif lengkap dan modern. Dengan tampang lugu, salah satu dari mereka bertanya, “Mas, posko satu masih jauh ya?” Saya pun langsung mengumpat dalam hati: “Makan dah tuh gunung!”

Itulah sekelumit kisah pendakian pertama kami dari majalah TRUST ke Gunung Gede….. sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan sampai kapanpun…

* Teks: Febry Mahimza,  2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman