Di bulan Maret 2007, Gunung Rinjani kembali menelan korban. Tujuh orang pendaki ditemukan tewas. Mereka ditemukan di kilometer 11 daerah Pelawangan yang memiliki ketinggian 2.639 meter. Udara dingin, kehabisan makanan dan terjebak cuaca buruk menjadi penyebab kematian Haerul Antoni dan kawan-kawan. Padahal, saat mayat-mayat mereka ditemukan, Gunung setinggi 3.726 mdpl itu dalam kondisi tertutup untuk pendakian sejak 1 Januari – 31 Maret 2007, dengan alasan sudah masuk musim penghujan dan sering terjadi badai dan longsor
Kenekatan tujuh pemuda “pemberani” itu untuk tetap mendaki Rinjani di musim bencana ini membuat saya ingin bertanya kepada mereka. Apa sih yang dicari di atas gunung sana? Apa sih yang bisa didapatkan di puncaknya sana? Atau kalian merasa malu setelah terlihat gagah dan keren dengan tas ransel di pundak, tapi tidak sampai puncak? Ah, sudahlah saya tidak mau banyak bertanya lagi tentang tujuan kalian naik gunung. Paling-paling jawaban standar yang saya terima. “Mau menyatu dengan alam, mau menikmati pemandangan alam, mau mensukuri ciptaaan Tuhan……”
Saya dan beberapa orang kawan juga pernah mendaki Rinjani pada 6 – 10 Januari 2007. Saat kami tiba di Rinjani Information Centre , saya kecewa karena saat itu gunung Rinjani sudah mulai ditutup untuk pendakian. Padahal persiapan untuk pendakian sudah saya siapkan sejak dua bulan sebelumnya. Mulai dari persiapan mental, fisik, riset, dan melengkapi peralatan pendakian. Pokoknya seluruh perlengkapan dan perbekalan saya dkk sudah layak untuk menemani kami sampai puncak Rinjani. Jadi, apapun yang terjadi saya akan tetap mendaki Rinjani, fikir saya saat itu.
Mungkin sama dengan fikiran kalian pada saat itu. Kalian tetap ngotot untuk tetap mendaki Rinjani, meski gunung Rinjani tertutup untuk pendakian. Yang jadi pertanyaan saya lagi, apakah perlengkapan amunisi pendakian kalian sudah layak saat itu? Kenapa kalian bisa kehabisan makanan? Kenapa kalian tidak bisa meminimalisir kedinginan? Kenapa kalian harus memaksa melawan cuaca buruk?
Sebelum saya berangkat ke Rinjani, seorang kawan di kantor pernah bertanya pada saya. “Ngapain juga harus susah payah naik gunung, setelah sampai puncak kemudian turun lagi, mendingan pergi ke mall?” Saya jawab “Because it is exist.” Saya sok mengutip kata-kata Sir Edmund Hillary pendaki pertama Everest. Terus terang, bagi saya memang sangat sulit untuk menjawab secara gamblang pertanyaan dari seorang kawan tadi. Tapi, saya hanya bisa merasakan ketika batas kemampuan fisik saya saat mendaki sudah lemah, ada semacam mental power yang mendorong saya untuk bertahan dan terus berjuang. Jika mental power itu sudah terlewati, saya akan merasa tetap ada.
Kepada Haerul Antoni dkk yang sudah meregang nyawa di gunung Rinjani. Kalian sudah membuang rasa takut. Dan kalian sudah menjadi pahlawan untuk diri kalian sendiri. Mengapa kalian mendaki gunung? Jawabnya: “Because it is there” mengutip perkataan George Mallory, master pendaki gunung yang hilang di Himalaya.
Mengapa kalian mati di gunung? Jawabnya: “Petualang yang tewas di gunung bukanlah orang yang mencintai kematian. Yang pasti, dia tewas justru dalam usahanya untuk menghargai kehidupan ini,” meminjam istilah Norman Edwin yang wafat di Gunung Aconcagua, Argentina.
Tulisan ini bukan hendak menyejajarkan nama Haerul Antoni dkk dengan Norman Edwin, terlebih dengan George Mallory. Mereka jelas berbeda. Tapi mereka punya kesamaan yaitu, mereka sama-sama meregang nyawa di atas gunung. Selamat jalan kawan. Dan pergilah dengan tenang. *** (Mohammad Hidayat AKA Daye, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar