Sabtu, 15 Oktober 2011, pukul 12.45 WIB, meskipun telat dari jadwal, akhirnya kapal motor yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Betok, pelabuhan utama di Pulau Tidung. Di depan kantor pelabuhan, Pak Rommy, penduduk lokal yang menyewakan rumahnya, telah menunggu. Ia lalu mengantar kami ke tempat penginapan. Di tengah hari yang terik itu, saya bersama sembilan teman satu rombongan harus berjalan kaki lumayan jauh ke arah barat, membelah permukiman penduduk yang padat.
Beberapa kali kami melewati rumah-rumah penduduk yang dijadikan homestay bagi wisatawan, dan hari itu semua homestay di dekat dermaga telah terisi. Maklum, setiap akhir pekan atau hari libur, jumlah pelancong yang datang selalu membeludak. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, jumlah tamu yang berakhir pekan di pulau ini bisa mencapai 300 hingga 400 orang. Bahkan pada musim liburan, jumlah mereka bisa melampaui jumlah penduduk Pulau Tidung yang dihuni sekitar 4.500 jiwa. Harga sewa homestay umumnya bervariasi dan tergantung pada jumlah orang yang akan menginap, mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 600 ribu per malam.
Ada pula beberapa rumah yang halaman luarnya dihiasi jejeran puluhan sepeda. Sepeda-sepeda itu disediakan untuk wisatawan dengan harga sewa Rp 15 ribu per hari. Harga yang cukup murah. Layanan wisata di Pulau Tidung memang dikelola langsung oleh penduduk setempat. Mulai dari penyewaan peralatan selam, sepeda, pendirian toko, tempat makan, penginapan, hingga jasa transportasi darat merupakan usaha-usaha milik masyarakat Pulau Tidung. Pemerintah daerah tidak menarik retribusi apa pun dari semua jenis usaha tersebut.
Pulau Tidung sendiri memiliki luas sekitar 50 hektare dan merupakan pulau terbesar dalam gugusan pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Menurut cerita yang santer beredar, nama Pulau Tidung berasal dari kata ‘'Tidung’ yang artinya tempat berlindung. Konon, dulu pulau ini sering dijadikan sebagai tempat berlindung nelayan dari para perompak. Karena itulah pulau ini dinamakan Pulau Tidung, yaitu pulau untuk tempat berlindung.
Setelah kira-kira 15 menit menyusuri gang demi gang, akhirnya homestay kami ada di depan mata. Posisinya berdampingan dengan rumah sang pemilik homestay. Harga sewanya Rp 350 ribu. Ada dua kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang keluarga, satu unit AC, TV, kipas angin, dispenser air mineral, sofa, dan listrik yang menyala 24 jam. Lumayanlah untuk menginap satu malam.
Pukul 2 siang, kami beranjak ke sisi belakang pulau dan menemukan pantai. Deretan perahu tertambat di sana. Salah satunya adalah milik Pak Erwin, penduduk lokal yang siap mengantar kami ‘melaut’. Di atas perahu, peralatan snorkeling, mulai dari life vest, google, snorkel, pipa udara, dan finn, telah tersedia. Setelah semua awak naik ke perahu, Pak Erwin menyelipkan tali pada poros engkol mesin dan menariknya. Tiga kali tarikan, barulah mesin motor air berbunyi. Trok… trok …trok …trok. Ritme suaranya yang semula lambat mulai cepat dan kian cepat, hingga perahu pun bergerak.
Saya duduk dekat Pak Erwin di bagian belakang perahu, sementara teman-teman asyik bernarsis ria dengan kameranya masing-masing di bagian depan. Obrolan pun mengalir antara saya dan Pak Erwin. Banyak hal yang dia ceritakan, mulai dari keluarga besarnya, masa-masa muda saat berkeliling nusantara, asal-muasal penduduk Pulau Tidung, hingga tempat-tempat yang layak dikunjungi wisatawan.
“Kalau untuk snorkeling, spot yang terdekat ada di sekitar Pulau Karang Beras atau Pulau Payung. Tapi di pantai Karang Beras banyak ubur-uburnya. Memang jenisnya kecil, cuma ubur-ubur jarum, tapi bisa membuat kulit bentol-bentol merah. Jadi lebih baik di pantai Pulau Payung saja. Di sana terumbu karangnya bagus-bagus. Saya jamin,” tutur Pak Erwin sambil memegang kemudi yang bentuknya menyerupai setang sepeda motor. Karena itulah sejak awal ia sudah mengarahkan moncong perahunya ke pantai Pulau Payung.
Selang 20 menit kemudian, mesin dimatikan. Kami sudah tiba di pantai Pulau Payung. Pak Erwin melempar jangkarnya ke laut. Teman-teman pun langsung sibuk mengenakan peralatan snorkeling dan menyiapkan kamera underwater. Setelah mendengarkan briefing singkat dari Pak Erwin, satu per satu dari kami mulai menjatuhkan diri ke air.
Tak terasa, hampir dua jam kami bermain-main di perairan dangkal Pulau Payung. Waktu sudah pukul setengah lima. Teman-teman pun sudah kenyang ber-cebang-cebung sambil mengamati uniknya rupa terumbu karang dan warna-warninya ikan. Saya mengajak Pak Erwin menggeber mesin perahunya untuk mengantar kami ke daratan Pulau Payung. Saya penasaran ingin melihat keberadaan pulau itu dari dekat.
Seiring dengan booming-nya wisata di Pulau Tidung, nama Pulau Payung juga mulai populer dan diminati wisatawan. “Lebaran kemarin, pengunjung yang datang ke sini sekitar 500 orang,” tutur Pak Erwin sambil mengerek perahunya ke darat saat kami menjejakkan kaki di atas pasir pantai. “Jumlah penduduk di sini cuma sekitar 150 orang. Jadi masih kelihatan sepi,” katanya lagi.
Yang pertama kali saya temui di Pulau Payung adalah jejeran warung makanan yang letaknya hanya beberapa meter dari dermaga. Ada beberapa rumah di sekitar warung-warung tersebut. Penduduk Pulau Payung saat ini sudah mulai menyewakan rumahnya kepada wisatawan yang ingin menginap. Tarifnya pun tidak jauh beda dengan tarif yang berlaku di Pulau Tidung Besar.
Sambil mengamati keadaan sekeliling, kami berjalan pelan ke sebelah kanan pulau. Suasananya lumayan sepi. Sekitar 300 meter dari dermaga, saya berhenti untuk mengambil gambar. Di sana saya melihat sebuah rumah panggung yang memiliki banyak jendela. Lantai dan dindingnya berbahan kayu dan bercat warna merah. Semua pintunya tampak 'melongo' terbuka, tapi tidak ada orang di dalamnya. Letaknya pun terpencil dan kelihatan tak terurus. Ada dorongan untuk menghampiri rumah itu dan mencari tahu kegunaannya. Tapi karena sibuk melayani permintaan teman-teman yang ingin dipotret, rumah itu hingga kini menjadi misteri bagi saya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Kami memutuskan untuk memburu sunset di Jembatan Cinta, icon-nya Pulau Tidung. Pak Erwin pun bergegas menyalakan mesin perahunya dan membawa kami ke dermaga Betok di Pulau Tidung Besar. Tapi sayang, saat kami tiba di dermaga Betok, ‘sang raja siang’ sudah kadung pulang ke ufuk sana. “Main-main ke Jembatan Cinta-nya besok subuh saja, sekalian melihat sunrise. Biasanya setiap Minggu pagi di sana sangat ramai. Banyak orang yang lompat dari Jembatan Cinta. Fasilitas untuk watersport juga banyak,” kata Pak Erwin, mencoba meredam rasa kecewa yang menggelayut di dada kami.
HARI KEDUA
Setelah kira-kira 45 menit berjalan cepat, kami tiba di Pantai Tanjongan Timur dan berhadapan dengan Jembatan Cinta. Sebagian besar bahan jembatan ini adalah kayu pohon kelapa, sedangkan tiang-tiang pancangnya berbahan beton. Dulu, Jembatan Cinta disebut sebagai jembatan apung karena terdiri dari kayu-kayu yang mengapung di atas ratusan drum dan terbentang panjang menghubungkan Pulau Tidung Besar dengan Pulau Tidung Kecil. Lalu, lantaran dianggap berbahaya saat terjadi pasang air laut, akhirnya jembatan ini direnovasi menjadi seperti penampilannya sekarang.
Ada beberapa kisah di balik penamaan Jembatan Cinta. Salah satunya menyebut bahwa Pulau Tidung Besar ibarat Adam, sedangkan Tidung Kecil adalah Hawa. Dan karena menjadi penghubung Adam dengan Hawa, jembatan yang panjangnya sekitar 800 meteran ini pun diberi nama "Cinta". Makanya wajar kalau kini berkembang ‘gosip’ bahwa jembatan ini dapat melanggengkan hubungan asmara muda-mudi hingga ke pelaminan.
Ada sebuah lengkungan di bagian pangkal jembatan, dengan tinggi sekitar 7 meter dari permukaan air. Di bagian lengkungan itulah biasanya wisatawan menguji nyali: terjun ke air. Uniknya, aksi yang membuat adrenalin berpacu kencang itu dianggap sebagai simbol pertanda sahnya seseorang datang ke Pulau Tidung. “Bila tidak terjun, berarti Anda dianggap tidak pernah datang ke Pulau Tidung,” begitulah kira-kira ‘undang-undang’ yang berlaku di jembatan ini. Dan boleh percaya boleh tidak, jika ada yang terjun sebanyak tujuh kali berturut-turut, maka orang itu akan langsung mendapatkan jodohnya. Dari atas lengkungan itu, saya dapat melihat keseluruhan Jembatan Cinta, lengkap dengan sosok Pulau Tidung Kecil dari kejauhan.
Tapi, lantaran hari masih teramat pagi, jembatan masih sepi pengunjung. Hanya ada beberapa wisatawan yang sedang mengambil gambar di atas lengkungan jembatan dan belum ada yang mau nekat melompat ke air. Karena itulah kami memutuskan untuk menelusuri jembatan dan mampir terlebih dahulu di Pulau Tidung Kecil.
Awalnya kami jalan berombongan, tapi lama-kelamaan mulai tercecer. Ada yang berjalan duluan di depan sembari sesekali mengambil gambar; ada yang berhenti sebentar sambil tertawa terkekeh-kekeh saat melihat hasil jepretan-jepretan kameranya; ada yang tertinggal di belakang karena berjalan pelan sambil ngobrol, ada pula yang duduk-duduk di pinggir jembatan sambil bereksperimen membuat foto siluet.
Air laut di sekitar Jembatan Cinta memang jernih sehingga kita dapat melihat warna-warni karang dan ikan-ikan yang berlalu-lalang. Menurut Pak Erwin kemarin, jembatan ini dulunya memiliki dua buah bale sebagai rest area. Tapi sayang, sepanjang mata memandang, saya tidak melihat satu bale pun. Yang ada tinggal puing-puing dan pondasinya saja.
Akhirnya kami menginjak deretan balok terakhir jembatan dan menapak di Pulau Tidung Kecil. Sudah ada beberapa pengunjung di sana. Kami lalu bergerak ke sisi kanan, menyusuri jalan setapak ber-conblock yang di kanan-kirinya dipenuhi semak kering dan jejeran pohon lamtoro. Saya mengajak teman-teman mengelilingi pulau kecil ini karena penasaran terhadap informasi dari Pak Erwin. “Kalau jalan terus ke ujung Pulau Tidung Kecil, nanti kamu akan melewati kantor milik Dinas Kehutanan, lalu melewati makam tua, dan menemukan pantai yang bagus yang pasirnya sangat halus, bersih, berwarna putih. Airnya juga sangat bening. Jarang orang yang tahu pantai itu,” katanya kemarin.
Makam tua yang dimaksud Pak Erwin tadi adalah makam Panglima Hitam, orang pertama yang menginjakkan kaki di pulau ini. Menurut beberapa sumber, Panglima Hitam adalah panglima perang dari Suku Tidung di Provinsi Kalimantan Timur. Konon, panglima ini tidak pernah mau tunduk kepada Pemerintahan Kolonial Belanda. Maka Belanda menangkap dan membuangnya ke sebuah pulau (Pulau Tidung Kecil) yang terletak di Kepulauan Seribu pada awal abad ke-17. Karena itulah ada anggapan bahwa penduduk asli Pulau Tidung adalah Keturunan Suku Tidung dari Kalimantan Timur.
Sekitar 10 menit berjalan kaki, ada beberapa teman yang tampak kelelahan dan berjalan pelan kira-kira 100 meter di belakang. Saya berhenti sebentar sambil berpikir mungkinkah kami sanggup mengelilingi pulau ini. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 7.30. Apa boleh buat, saya harus mengurungkan niat menengok makam tua yang diceritakan Pak Erwin, dan harus cepat kembali ke Jembatan Cinta untuk melihat keramaian di sana.
Di sebelah kiri, di seberang lahan bersemak yang tanahnya dipenuhi abu sisa kebakaran, samar-samar saya melihat pantai. Tebakan saya, itu pasti sisi barat pulau ini. Malas berpikir panjang, saya langsung melintasi lahan bersemak itu. Dan benar, saya menemukan pantai yang di sekitarnya banyak terdapat tanaman manggroe setinggi pinggang orang dewasa.
Rupanya ada seorang ibu muda yang mengikuti kami memotong jalan. Ibu muda itu segera menyadari bahwa dirinya tengah berada di pinggir pantai yang kurang 'ramah'. "Wah Mas, tanggung jawab dong! Kita salah jalan kan? Saya takut nanti malah tambah nyasar. Mendingan kita balik saja lagi deh ke seberang," tuturnya dengan nada cemas. Agak keki juga mendengar ucapan si ibu 'dadakan' itu. "Siapa ibu ini? Kok nuduh sembarangan. Siapa pula yang mengajak dia?" saya bertanya-tanya dalam hati.
Ibu itu mengaku bahwa dirinya telah tercecer dan tertinggal jauh di belakang rombongannya. Saya jadi tak tega saat menyadari bahwa ibu muda itu benar-benar sendirian dan kebingungan. "Ayo deh Bu saya antar lagi ke seberang sana," kata saya, menawarkan diri. "Nggak mau ah. Di seberang sana sangat sepi. Saya takut," tuturnya lagi. Beberapa detik kemudian, ia memijit-mijit keypad HP-nya untuk menghubungi salah seorang teman rombongannya dan menceritakan situasi yang tengah terjadi. "Iya nih Mbak, saya nggak tahu lagi ada di mana. Tadinya saya ikut jalan bareng dengan rombongan lain, tapi sekarang kok malah nyasar," katanya, entah kepada siapa yang jadi lawan bicara di HP-nya. "Lebai banget sih ibu ini," gerutu saya dalam hati.
Saya mencoba meyakinkan ibu muda itu bahwa kami tidak sedang tersesat. "Kita bisa lewat dari sini kok Bu, saya yakin. Kita tinggal jalan mengikuti jalur pasir ini saja kok. Nah di depan sana, jembatan sudah kelihatan," tutur saya sambil menunjuk ke arah barat. Beberapa orang teman juga membantu menenangkan si ibu muda tadi. Untungnya, ibu itu akhirnya manut. Kami lalu berjalan menyusuri pantai sampai akhirnya kembali melihat Jembatan Cinta. Si ibu muda yang 'heboh' tadi langsung ngeloyor pergi entah ke mana.
Sekitar 50 meter sebelum jembatan, saya menemukan area kecil yang lumayan nyaman untuk sekadar duduk-duduk sebentar, sambil memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di Jembatan Cinta. Di sisi kiri kami ada sebuah warung tenda ala kadarnya. Iseng-iseng saya memesan mie rebus kepada si mbak penjaga warung. Lumayanlah untuk mengisi perut, apalagi sejak subuh tadi saya belum sarapan, begitu juga dengan teman-teman. Tapi ternyata yang memesan makanan cuma saya. "Nanti sajalah makannya di seberang jembatan sana. Kan di sana banyak warung makanan, banyak pilihan pula," tutur Dona, yang langsung 'diamini' oleh teman-teman lainnya. Ya sudah, saya makan sendirian.
Selesai mengembalikan mangkok mie dan membayar 7 ribu rupiah, saya bergegas menyusul teman-teman yang sudah duluan meniti jembatan. Sekitar pukul 8 pagi, suasana di sepanjang jembatan sudah lumayan ramai, terlebih lagi di bagian cekungannya. Di sana, adegan terjun bebas sudah dimulai. Satu per satu wisatawan bergantian meluncur dan langsung terbenam ke bawah permukaan air.
Tak mau menyesal, Ridwan (salah satu dari kami) langsung merapatkan badannya ke sisi luar pagar jembatan. Setelah merasa siap, ia pun meluncur. Byurrrrr! Air cipratannya mencapai dua meter ke atas. Selama beberapa detik, tubuhnya hilang di antara buih-buih yang membentuk lingkaran besar di permukaan air. Bak keranjingan, ia mengulanginya hingga beberapa kali. "Kalau sudah terjun sekali, kok rasanya ketagihan ya? Ayo deh cobain!" katanya. Sayang, gaya terjunnya biasa-biasa saja, malah cenderung monoton. Padahal saya berharap dia terjun dengan tubuh meliuk-liuk bak mainan yoyo, atau kalau perlu, memadukan gaya tari balet dengan bungee jumping.
Tak cuma terjun bebas yang jadi tontonan saat itu. Beberapa unit banana boat beserta para penumpangnya tampak melaju kencang dan berseliweran di sekitar pantai. Di sisi lainnya, sebuah perahu boat meluncur cepat di atas permukaan air sambil menarik balon besar berbentuk donat, lengkap dengan tiga penumpang di atasnya.
Sementara di darat, di arena outdoor, puluhan orang terpaku mengamati beberapa anak kecil yang tengah beraksi di ketinggian 12 meter pada wahana high rope, yang sambung-menyambung dengan wahana monkey bridge, spider web, dan flying fox. Sedangkan di sisi timur, di sebelah lapangan voli pantai, beberapa orang dewasa tengah berjibaku bermain sepakbola pasir.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 siang. Ingin rasanya berlama-lama Pantai Tanjongan Timur ini agar bisa mencicipi kembali es rumput laut di sebuah warung tenda sambil menikmati suasana yang ada. Tapi siang itu juga kami harus pulang ke Jakarta. Lagi pula, kapal ojek yang bersandar di dermaga Betok tentu tak akan mau menunggu bila kami terlambat tiba di sana pukul 1 siang nanti.
Dengan menumpang empat unit bentor, kami kembali ke homestay untuk mandi, berbenah, dan mengepak barang-barang bawaan. Pukul 13.10 WIB, kapal kami mulai meninggalkan Dermaga Betok dan tiba di Muara Angke kira-kira tiga jam kemudian.
Teks: Bonny Dwifriansyah
Foto: Bonny Dwifriansyah, Dede Syarifudin, Syarasmanda Sugiartoputri
Jembatan cinta Pulau Tidung salah satu obyek Wisata terunik di kepulauan seribu dan menjadi obyek Wisata Pulau Tidung terpaporit. Salam.
BalasHapus