Karya : Nando Parrado
Penerbit: C - Publishing
"Tentu saja ada makanan di gunung ini. Ada daging, jumlahnya banyak, dan mudah didapat. Daging-daging ini diambil dari mayat-mayat yang terbaring di luar pesawat, di bawah lapisan salju. Hanya daging-daging ini yang bisa dimakan dalam radius seratus mil”.
Awalnya Nando Parrado terus menerus memikirkan hal itu. Jejeran tubuh kaku dalam benaman salju itu bukan hanya mayat rekan-rekannya, tapi juga jasad ibu dan adiknya, Susy.
Nando, dan semua korban yang selamat, akhirnya menemukan dasar pembenar dari tindakan mereka: bahwa tugas manusia adalah mempertahankan hidup, dan bahwa Tuhan akan mengampuni tindakan mereka meski harus memakan daging manusia--rekan-rekan mereka sendiri.
Merekapun menyayat daging mayat dengan pecahan kaca jendela pesawat yang telah mencelakakan mereka di pegunungan Andes. Saat menelannya, mereka cuma berpikir bahwa itu hanyalah setumpuk daging. Dengan daging itu mereka mampu bertahan selama 72 hari dalam gigitan dinginnya salju Andes yang mematikan.
Cerita ini adalah kisah nyata yang diceritakan kembali oleh pelaku sekaligus korbannya sendiri, Nando Parrado, dalam buku “Miracle in The Andes”. Buku ini mengisahkan kecelakaan pesawat carter “Fairchild” milik angkatan udara Uruguay yang jatuh di pegunungan Andes pada tahun 1972. Kebanyakan para penumpangnya adalah anggota tim rugby Uruguay yang akan melakukan pertandingan persahabatan di Chile. Mereka bertahan hidup selama 72 hari sambil menimbun harapan datangnya pertolongan.
Namun pertolongan bantuan itu sering hanya datang dalam halusinasi para korban yang mulai putus asa. Ketika radio pesawat yang nyaris rusak memberitakan bahwa proses pencarian mereka dihentikan, harapan itu memudar dan patah. Satu-satunya jalan kini hanyalah melakukan ekspedisi penyelamatan diri sendiri, menyeberangi halangan puncak gunung dengan kemungkinan menemukan jalan menuju "surga" atau "neraka".
Setelah selamat dan kembali ke kehidupan yang telah mereka tinggalkan, para survivor itu menjadikan Andes sebagai guru, dan menyerap pelajaran berharga darinya tentang berjuang mencapai tujuan hidup: tentang keyakinan dan cinta.
Di pegunungan Andes, para survivor itu menyadari bahwa hidup terlalu berharga untuk disia-siakan dengan hanya meringkuk dalam bangkai pesawat. Suhu minus derajat setiap saat mengendus peluang kematian mereka. Dan mereka harus berjuang sendiri untuk mencari sumber pertolongan: menembus badai beku, atau kalau perlu merangkak melangkahi puncak gunung. Sumber pertolongan ada di balik gunung sana.
Tapi di lereng gunung itu, mereka hanyalah titik-titik kecil yang setiap saat siap dilumat badai angin. Medan yang serba kritis membuat jarak mereka cuma seinci dengan kematian. Pendaki profesional pun akan bergidik saat memandang medan gunung itu. Untuk melintasi puncak yang menjulang di depan, mereka butuh keyakinan yang sama besar dengan gunung itu. Tindakan sembrono bisa berarti bunuh diri. Medan curam dan suhu yang buruk adalah musuh yang tak kenal ampun.
Sekumpulan orang yang selamat ini bukanlah pendaki profesional yang memiliki kemampuan analis gunung setajam pisau lipat. Mereka hanya sekumpulan anggota tim rugby yang lebih paham cara berlari dan menjegal lawan di lapangan.
Tapi, terdorong oleh kewajiban untuk selamat, mereka telah menjadi pendaki sungguhan. Untuk mencari pertolongan, Carlitos menjahit potongan kain menjadi kantong tidur untuk mengakali suhu beku gunung. Mereka juga membawa potongan daging manusia untuk suplai logistik. Pada hari ke-60, setelah merasa mampu menguasai medan gunung dan diri mereka sendiri, sebuah tim kecil ekspedisi telah terbentuk dengan segenggam keyakinan.
Bagi Nando, kematian ibu dan adiknya membuatnya sangat terpukul. Jikapun ia ikut mati, berarti ayahnya di Uruguay akan kehilangan hampir seluruh keluarganya. Demi ayahnya, Nando bersumpah bahwa ia harus tetap waras. Ia tidak boleh mati di gunung ini. Ia harus pulang untuk mengurangi penderitaan ayahnya, meskipun tidak berhasil membawa pulang ibu dan sang adik.
Meski buku ini bukan buku motivasional tentang cara mencapai cita-cita hidup, namun pergulatan intensif dan bayangan kematian telah menggambarkan motivasi Nando secara terang bahwa keberanian, keyakinan, serta cinta yang selama 72 hari terpupuk di bekunya pegunungan Andes telah menjadikan mereka sebagai manusia baru: memiliki penghargaan lebih mendalam tentang kekuatan jiwa.
Dalam menjalani kehidupan selanjutnya, kekuatan jiwa itu telah menjadikan karakter para korban yang selamat semakin penting. Roberto menjalani karirnya dengan lebih cerdas, meyakinkan, dan sekaligus semakin keras kepala. Roberto menjadi dokter jantung anak yang dihormati di Uruguay. Solidaritasnya yang tinggi membuat Roberto mudah mengumpulkan massa dari akar rumput untuk mendukungnya dalam pemilihan Presiden Uruguay. Ia gagal menjadi Presiden karena memperoleh suara yang kecil. Sedangkan Nando, di kampung halamannya, Montevideo, menjadi pengusaha yang disegani. Para survivor itu menganggap pegunungan Andes sangat penting dalam hidup mereka selanjutnya.
Dalam buku-buku seri petualangan, buku ini bisa disejajarkan dengan “Into Thin Air” karangan John Krakauer atau kisah kecelakaan mendaki Andes dalam “Touching The Void” karya Joe Simpson. Namun, dalam kedua buku itu petualangan diasumsikan sebagai “permainan di batas kematian”. Bagi Nando, bermain-main dengan kematian sungguh bukan tujuan perjalanannya sewaktu ia mengepak ransel.
Dalam buku "Into Thin Air", mendaki gunung Everest adalah tindakan memasuki “zona kematian” secara sadar. Bahwa setiap pendaki yang bersiap-siap mendaki Everest telah menyadari, ugal-ugalan di ketinggian 8000 meter bisa beresiko digulung badai gunung atau kecemplung ke jurang bersalju. Begitu juga tindakan Joe Simpson dan sahabatnya, Simon Yates, di gunung Andes dalam "Touching The Void". Tantangan gunung yang mereka jajal dan segala akibatnya kemudian diceritakan begitu dramatis namun tetap tenang, seolah tindakan mereka adalah sebuah permainan.
Tujuan John maupun Joe bertualang adalah menemukan sensasi bagi diri mereka sendiri. Dan saat tragedi demi tragedi gunung susul-menyusul, mereka sebenarnya justru menikmati ‘kenyamanan’ itu, berada di batas kematian.
Tapi Nando dan rekan-rekannya menembus padang salju bukan untuk merayakan kebesaran jiwa sang penakluk gunung. Mereka hanya ingin lepas dari tragedi kecelakaan pesawat dan segera pulang ke rumah. Dan untuk itu, Nando telah bersumpah bagi ayahnya di makam adiknya. Pun rekan-rekannya, hanya ingin pulang dan merayakan Natal berikut di tempat yang layak.
Kesamaan dari buku-buku itu adalah: kisah-kisah petualangan selalu memberi inspirasi tentang peluang menjungkirbalikkan keadaan yang tidak masuk akal menjadi fakta. Bagaimana Nando dan Roberto bertahan hidup di batas kematian hanya dengan kantong tidur dari potongan kain dan setumpuk daging manusia? "Miracle in The Andes" menjawabnya: karena keberanian, keyakinan, dan cinta.
Penulis: Dadang Sukandar
Sumber: http://tropisch.wordpress.com/2008/12/20/72-hari-bertahan-hidup-dengan-daging-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar