PETANG DI PULAU KARYA

Kamis, 24 September 2009, pukul 06.35 WIB, kami berdelapan tiba di Muara Angke, sebuah pelabuhan rakyat yang sangat sederhana dan terkenal sebagai tempat penjualan ikan laut segar di Jakarta. Bau laut, amis ikan, limbah ikan tak terpakai, air kotor dari got yang tersumbat, serta sampah basah yang tercecer menjadi sajian yang wajib “dinikmati” orang-orang yang ada di sana, termasuk kami. 

Di pinggir pelabuhan sudah ada beberapa kapal tradisional angkutan penumpang, atau yang akrab disebut kapal ojek. Alat transportasi laut jenis ini mirip kapal pengungsi Vietnam. Bentuknya seperti perahu nelayan yang dibuat menyerupai feri dengan dua dek khusus tempat penumpang, yakni dek atas dan dek bawah. Bagian kiri dan kanan dek bawah tertutup dinding kayu, tapi ada beberapa buah jendela di tiap-tiap dindingnya. Sedangkan di dek atas tidak ada dinding sama sekali. Ada banyak penumpang yang ingin menyeberang ke Pulau Pramuka, pagi itu.

Tak ada tempat khusus untuk menaruh barang bawaan. Jadi, para penumpang  harus berbagi ruang dengan barang-barang yang mereka bawa. Bahkan ada juga motor yang ikut dinaikkan dan ditempatkan bagian paling depan kapal. Dan karena dek bagian bawah dan atas sudah dipenuhi penumpang, akhirnya kami harus menempati bagian paling depan, dekat haluan. 

Sebenarnya, untuk menuju ke Kepulauan Seribu, ada dua rute pilihan. Wisatawan berkocek tebal dan menginginkan kenyamanan bisa berangkat dari Pantai Marina (Ancol) dengan menggunakan kapal speedboat yang berangkat pukul 8-9 pagi dan kembali pukul 1-2 siang. Tapi, bila ingin bepergian ala backpacker atau budget traveler, wisatawan bisa menggunakan rute dari Muara Angke seperti yang kami tempuh ini. 

Kapal ojek dari Muara Angke berangkat setiap hari pada pukul 7 pagi. Tujuannya adalah pulau-pulau yang dihuni penduduk, antara lain Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Tidung, dan Pulau Kelapa. Sekitar pukul 7.10 WIB, mesin diesel kapal yang kami tumpangi mulai meraung-raung dan kapal mulai bergetar. Perlahan, kapal yang kami tumpangi bersama sekitar 70-an penumpang lainnya mulai meninggalkan dermaga. 

Lepas dari Teluk Jakarta, kapal berhenti sejenak dan seorang awak kapal langsung menceburkan diri ke air. “Biasa, ngecek kalau-kalau ada sampah yang nyangkut di baling-baling mesin, supaya jalannya nggak lambat,” tutur awak kapal lainnya, saat saya bertanya ada apa. Menjelang sampai di tujuan, anak buah kapal menarik ongkos. Tiap-tiap penumpang dikenai tarif Rp 30 ribu. Dengan waktu tempuh 2 jam 15 menit, akhirnya sampailah kami di Pulau Pramuka, pulau yang menjadi pusat administrasi dan pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.

Saat sampai di Pulau Pramuka, salah seorang dari kami langsung mencari penginapan atau wisma. Di pulau ini, ada beberapa wisma, di antaranya Wisma Delima, Wisma Dermaga, dan Wisma PHPA. Rata-rata harga sewanya adalah Rp 350 ribu per hari. Fasilitasnya ada AC, TV, dispenser, dan lain-lain. Tapi, semua fasilitas tersebut hanya bisa dinikmati mulai pukul 17.00 WIB hingga pukul 07.00 WIB. Maklum, untuk sistem penerangan di sana, para penduduk hanya menggunakan genset. 

Sebenarnya kami bisa saja numpang menginap di rumah penduduk asli Pulau Pramuka. Cara itu sering disebut home stay. Kata orang-orang, berwisata dengan cara home stay terasa berbeda dan lebih puas dibanding menginap di wisma. Tapi karena dalam rombongan kami ada empat perempuan yang merasa bakal risih bila menginap di rumah penduduk, jadilah kami menyewa sebuah wisma yang tarifnya bisa dinegosiasikan menjadi Rp 300 ribu per malam. 

Di bagian selatan Pulau Pramuka ada tempat pelestarian Penyu Sisik atau Eretmochelys imbricate, yang dikelola oleh Pak Salim. Ia adalah peraih penghargaan Kalpataru dari Presiden SBY atas jasanya dalam melestarikan lingkungan. Tempat penangkaran penyu itu tidak begitu luas. Di sebelahnya, ada tempat penangkaran kupu-kupu dan tempat pengolahan rumput laut. Bahkan di sana juga ada fasilitas untuk aktivitas outbond. 

Secara umum, rumah-rumah yang ada di Pulau Pramuka tak jauh beda dengan bangunan yang ada di Jakarta. Di sekitar dermaga, ada mesjid dan RSUD yang cukup besar. Bahkan, di sini juga ada universitas terbuka. Padahal, menurut salah seorang penduduk, Pulau Pramuka baru ramai kira-kira beberapa tahun belakangan, tepatnya sejak Kepulauan Seribu menjadi kabupaten. Tapi tidak ada mobil di pulau ini. Yang ada hanya sepeda motor dan “gerobak motor” yang telah dimodifikasi.

Setelah beristirahat sebentar di wisma, sekitar pukul 11.30 WIB kami beranjak ke dermaga sambil menenteng peralatan snorkeling. Di sana, sebuah perahu mesin bersama dua awaknya sudah menanti. Dengan Rp 200 ribu, sang awak siap mengantar kami ke mana saja yang kami mau hingga hari gelap nanti. Tarif tersebut sebenarnya sangatlah murah, karena biasanya wisatawan dikenai tarif Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu untuk seharian penuh melakukan petualang di sekitar Kepulauan Seribu. 

Saat mesin kapal baru dinyalakan, saya sempat memotret beberapa bocah laki-laki yang yang sedang asyik berenang di pinggir dermaga. Tanpa malu, anak-anak itu berpose di depan kamera, padahal beberapa dari mereka telanjang bulat. Seusai mengabadikan tingkah polah bocah-bocah yang berusia 8 hingga 12 tahun itu, perahu mesin kami pun bergerak perlahan menuju pulau pertama yang akan kami kunjungi: Pulau Semak Daun. 

Setengah jam berlalu. Dari kejauhan, dermaga Pulau Semak Daun mulai tampak. Saat akan menyandarkan perahu, kami melihat sebuah rumah panggung kecil yang terbuat dari kayu berdiri tepat di samping dermaga. Belakangan kami tahu bahwa bangunan berukuran kira-kira 5 x 6 meter itu bisa disewa sebagai tempat penginapan. 

Pulau Semak Daun terletak di gugusan sebelah utara dari Kepulauan Seribu. Pulau ini bisa dicapai dengan perahu motor kira-kira setengah jam dari Pulau Pramuka. Pantainya bersih, landai, dan berpasir putih. Di pulau ini ada banyak spot yang lumayan bagus untuk berlatih snorkeling. Tak aneh bila di kanan-kiri dermaga ada beberapa anak kecil yang sedang asyik cebang-cebung di air dengan mengenakan masker, kaki katak, pelampung, dan snorkel. 

Di tengah pulau yang luasnya sedikit lebih besar dibanding lapangan sepakbola ini ada bangunan yang masih baru dan sebuah rumah kayu tempat tinggal Pak Ansori beserta anaknya. Pak Ansori adalah penjaga Pulau Semak Daun dan pengelola sebuah kedai kopi di pulau ini. Dan yang agak mengagetkan kami, ternyata di tepi pantai ada beberapa tenda milik orang-orang yang sedang berkemah. 

Setelah puas bermain air dan pasir, serta berfoto-foto, kami beranjak meninggalkan Pulau Semak Daun menuju titik yang cocok untuk ber-snorkeling ria. Rupanya, beberapa orang di antara kami sudah tidak sabar ingin menceburkan diri ke air dan menjajal peralatan snorkeling yang mereka sewa dari Pulau Pramuka. Awak perahu motor pun sangat memahami ketidaksabaran kami. Akhirnya, dibawalah kami ke sebuah spot yang bagus untuk melampiaskan keinginan tersebut.

Tak lupa, sebelum menceburkan diri ke air, sang kapten kapal mengingatkan kami agar tidak bersentuhan dengan bulu babi, yakni binatang laut yang 95 persen tubuhnya terdiri atas duri. Menyadari hal tersebut, kami semua jadi agak takut. Tapi, untungnya sang kapten buru-buru mengatakan bahwa binatang itu tidak akan berbahaya selama kita tidak mengganggunya. Mendengar ucapan tersebut, kekhawatiran kami pun berangsur-angsur reda.

Pukul 13.45 WIB, sesi pertama snorkeling kami selesai. Selanjutnya, kami dibawa oleh sang kapten menuju ke sebuah tempat bernama Pulau Air, sebuah pulau pribadi. Kami disambut oleh sebuah selat yang pulau-pulaunya dipenuhi pohon cemara dan semak belukar, serta dikelilingi laut yang warna airnya hijau terang. Air laut di selat kecil ini relatif tenang karena embusan angin terhadang oleh pulau-pulau yang mengelilinginya. 

Pulau yang terbentang di sebelah kanan perahu kami tampak terpelihara dan dilengkapi dengan infrastruktur yang baik. Bangunan-bangunan permanen berdiri di pulau itu. Konon, si empunya pulau adalah seorang pengusaha yang juga mengelola sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta. Jadi, kami sadar tidak mungkin berlabuh di Pulau Air tanpa seizin si empunya. Kata sang kapten kapal, pulau ini juga memiliki tempat pendaratan helikopter dan lapangan golf mini. 

Pulau Air merupakan tiga gugusan pulau kecil. Luasnya hanya 2,9 hektare. Dua pulau yang menghimpit Pulau Air berukuran sangat kecil, berbentuk memanjang, dan memiliki dinding penyanggah berupa beton yang berfungsi sebagai penahan agar pasir di daratannya tidak turun ke laut saat datang hempasan gelombang.

Sebaliknya, pulau yang ada di sebelah kiri kapal kami tampak tak terurus, kecil, tapi bentuknya memanjang. Di pulau sepi tak berpenghuni itulah kami meminta kapten kapal menepi untuk sekedar melihat-lihat keadaan sekeliling. Hampir seluruh permukaan tanah di pulau itu tertutup oleh tebalnya timbunan daun-daun cemara kering. 

Sekitar 30 menit pun berlalu. Salah seorang dari kami meminta kapten kapal kembali menyalakan mesin dan mencari tempat lain yang mungkin lebih cantik. Tapi, di tengah perjalanan, ada yang meminta agar snorkeling sesi kedua segera dilakukan. Kapten kapal pun segera mencari spot yang cocok untuk lokasi snorkeling. 

Sejak semula, saya enggan menceburkan diri ke laut. Sebab, hari masih siang dan menurut saya sangat konyol bila berenang dalam cuaca seperti itu. Hal itu membuat teman-teman sedikit kecewa dan meragukan keberanian saya berenang di laut. “Katanya jago berenang, mana buktinya? Bilang aja nggak bisa berenang,” tutur Donna, salah satu dari kami, dengan nada menyindir. 

“Nggak panas kok. Kalau sudah di air pasti adem. Justru kalau menunggu sore, nanti air lautnya dingin. Malah, kalau sore, agak susah melihat karangnya, kurang terang. Mending sekarang saja, mumpung masih terang,” ujar sang kapten, menambahkan ucapan Donna. 

Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya saya pun langsung menyambar peralatan snorkeling yang “menganggur” dan… Byurrr! Benar saja, ketika tubuh menghempas air laut, sinar matahari tidak terasa panas. “Iya ya, nggak panas,” tutur saya. Perkataan saya tadi langsung dibalas dengan seruan teman-teman: “Huuuuu, bukannya dari tadiiiiii! 

Di snorkeling sesi kedua ini, hari sudah menjelang sore. Sinar matahari sudah mulai “ramah”. Kami pun jadi merasa nyaman menyaksikan sibuknya aneka ikan kecil yang hilir mudik di atas terumbu karang serta warna-warninya polip di antara batu gamping dan koral. Bahkan, di sesi kedua ini, kami menemukan lima ekor bintang laut sebesar telapak tangan orang dewasa. 

Sekitar pukul 16.30 WIB, kami beranjak dari spot snorkeling menuju Pulau Karya untuk beristirahat sejenak dan menunggu sunset. Dari kejauhan, dermaga di Pulau Karya hampir mirip dengan dermaga di Pulau Semak Daun: sama-sama memiliki jembatan panjang yang terbuat dari kayu. Bedanya, di dermaga Pulau Karya tidak ada homestay sebagai tempat penginapan. 

Dari dermaga, kami berjalan ke arah timur, menyusuri jalan setapak yang permukaannya agak tinggi, terbuat dari batu dan semen. Tampaknya, jalan itu dibuat sebagai tanggul untuk mencegah merosotnya tanah dan mencegah abrasi dari gempuran ombak. Banyak pepohonan di Pulau Karya. Tapi sangat sedikit jumlah orang yang tinggal di tempat ini. Sebab, pulau yang hanya memiliki luas 6 hektare ini dikhususkan sebagai tempat perkantoran Pemda Kep. Seribu serta Polres Kep. Seribu. Dan rumah-rumah yang berderet-deret di sisi selatan adalah rumah Dinas Pemerintahan Kepulauan Seribu. 

Di sisi sebelah barat pulau ini terdapat tempat pemakaman. Kata orang, pemakaman itu digunakan oleh penduduk Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Jadi tidak aneh bila Pulau Karya juga disebut pulau kuburan. Selain pemakaman, di sisi barat Pulau karya juga ada sebuah SPBU yang hanya menjual solar. Maklum, mesin-mesin perahu atau kapal biasanya menggunakan bahan bakar solar.  

Tibalah kami di sebuah tikungan yang merupakan ujung batas jalan tanggul tadi. Di depan kami terhampar pasir putih dan laut dangkal yang airnya jernih. Kami semua melepaskan alas kaki dan duduk-duduk santai di atas pasir, sambil memotret keadaan sekeliling. Bahkan kami sempat membuat dua lubang besar pada pasir untuk “mengubur” Donna dan Ridwan, lalu mengabadikan momen-momen tersebut. 

Matahari semakin tergantung rendah. Kami pun bergegas berjalan ke utara melalui sisi timur pulau untuk memburu sunset. Di sisi kiri kami, barisan pohon cemara dan semak belukar berderet panjang. Sedangkan di sisi kanan, mangrove muda setinggi pinggang tertanam rapi, berjejer, dan berkelompok-kelompok. Cahaya redup matahari memantul melalui sisa-sisa air laut di permukaan pasir. Jejak-jejak tapak kaki kami memanjang di belakang.

Di sebuah spot yang lebih terbuka, kami berhenti. Cahaya jingga keemasan matahari menyapu seisi permukaan pantai. Kamera pocket kembali dinyalakan dan kami mulai bernarsis ria. Ckrek...ckrek...ckrek..! Dari mata lensa kamera, gambar-gambar tubuh kami pun berubah menjadi siluet. 

Pukul 17.55 WIB kami kembali ke dermaga Pulau Karya dan langsung menuju Pulau Pramuka. Malamnya kami beristirahat di penginapan sambil melihat-lihat foto pada kamera. Banyak sekali foto-foto aktivitas selama seharian itu yang membuat kami semua tersenyum, bahkan tertawa. Besoknya, pukul 13.20 WIB kami bertolak ke Muara Angke bersama puluhan penumpang lainnya dari Pulau Pramuka. 

*** (Bonny Dwifriansyah, 2009. Pernah dimuat di KORAN TEMPO)

************************************************************************************















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman