SENSASI DI KAWAH RATU G. SALAK

Sabtu, 4 Juni 2011, sekitar pukul 9 malam, kami berlima tiba di pintu gerbang Wana Wisata Cidahu Cangkuang yang terletak di Desa Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Suasana di sekitar pintu gerbang pada Sabtu malam itu sangat sepi. Hanya ada sepasang muda-mudi yang sedang bercengkrama di depan sebuah warung makanan, tak jauh dari warung kopi yang kami singgahi. 

“Suasananya sekarang mah udah beda banget. Dulu tiap malam Minggu di sini rame, kebanyakan sih anak-anak muda sama pacarnya, pake motor,” tutur Mulyadi dengan logat Betawinya. Mulyadi atau yang sering dipanggil Gopal ini adalah rekan saya yang sudah belasan kali mengunjungi kawasan Kawah Ratu sejak tahun 2000. 

Saya dan Mulyadi kemudian mendatangi pos pendaftaran pengunjung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Ada dua petugas yang menerima kami. Selama kurang lebih 15 menit kami terlibat percakapan dengan mereka. Isi percakapan pun tak jauh-jauh dari rencana kami yang ingin melintasi Kawah Ratu dan mengakhiri perjalanan di Desa Pasir Reungit. 

“Hati-hati kalau sudah sampai di Kawah Ratu. Biasanya kawah berbahaya pada pagi, sore, dan malam hari. Begitu juga saat turun hujan. Jangan duduk atau jongkok lama-lama di sekitar kawah karena gas beracun mengalir dekat permukaan tanah,” tutur salah seorang petugas. Ia juga mewanti-wanti agar kami tidak berkemah di area kawah karena sewaktu-waktu gas beracun bisa muncul dari setiap lobang kawah. “Yang paling berbahaya adalah gas CO karena tidak berbau dan tidak berwarna,” katanya lagi. 

Untuk berwisata ke Kawah Ratu ataupun melakukan pendakian ke puncak G. Salak I, setiap pengunjung diwajibkan membeli tiket masuk seharga Rp 7.500. Selain itu, setiap kelompok atau tim juga dibebankan biaya tambahan sebesar Rp 10 ribu untuk pemakaian meterai yang akan ditempelkan pada surat izin masuk ke tempat ini. Jadi, untuk dapat melenggang ke TNGHS, kami berlima harus membayar Rp 47.500. 

Lepas dari pos pendaftaran, kami mulai menyusuri jalan aspal agak menanjak yang di sisi kanan dan kirinya dipenuhi pohon-pohon pinus. Permukaan aspal tampak agak basah karena Desa Cidahu ini baru saja diguyur hujan. Suasana sangat sepi dan gelap. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas. 

“Dulu, biarpun tengah malam, ada aja mobil atau motor yang lewat sini ke komplek Javana Spa. Tapi sekarang nggak tahu kenapa jadi sepi begini,” ujar Mulyadi saat kami berhenti di sebuah tikungan untuk mengatur napas yang sedikit tersengal. Javana Spa yang dimaksud Mulyadi adalah kompleks bangunan modern yang dipenuhi fasilitas wisata spa berkelas internasional dan lokasinya berada di kaki Gunung Salak.

Setelah berjalan kaki sekitar 45 menit dengan trek menanjak dan mendatar, akhirnya kami tiba di depan sebuah warung kecil, beberapa meter sebelum Pos Kancil dan tikungan jalan. Warung itu tertutup rapat. Suasana di sekelilingnya pun hening dan gelap. Rupanya, Pak Jalal, sang pemilik warung, sedang tidak berada di tempat. Dengan bantuan lampu senter, kami mulai mendirikan tenda di sisi kiri warung Pak Jalal. Satu tenda untuk lima orang. 

Yang namanya kemping di Gunung Salak, pacet selalu menjadi “tamu tak diundang”. Saat baru saja tenda didirikan, saya menemukan seekor pacet yang berlumuran darah di atas salah satu matras. Langsung saja parasit pengisap darah itu kami lempar ke luar tenda. Saya menduga pacet itu baru saja lepas dari salah satu anggota tubuh kami, lalu terinjak secara tidak sengaja. Dan benar saja, saya melihat ada darah di bagian punggung kaki Mulyadi. Ternyata kakinya baru saja menjadi inang bagi pacet tadi. Tak ingin “dicumbui” pacet seperti yang dialami Mulyadi, sebelum tidur, saya dan teman-teman memeriksa setiap inci tubuh masing-masing dan memastikan bahwa “vampire mungil” tadi tidak akan menginap di tenda kami. 

Pagi harinya, Pak Jalal datang dengan menumpang ojek sepeda motor. Saya menyempatkan diri untuk ngobrol sebentar dengan Pak Jalal dan mengucapkan terima kasih atas pemakaian lahan warungnya secara cuma-cuma. Sekalian saja saya membeli beberapa roti serta air mineral sebagai bekal tambahan. Beberapa meter di sebelah kanan warung Pak Jalal, Pos Kancil dan gapuranya sudah menunggu kami.

Pos Kancil adalah pintu gerbang bagi pengunjung yang ingin melancong ke Kawah Ratu ataupun melakukan pendakian ke puncak G. Salak 1. Jarak dari pos ini ke Kawah Ratu kira-kira 5 km dan dapat dicapai dalam waktu 2 jam, sedangkan jarak ke puncak G. Salak 1 sekitar 7,5 km (8 jam). 

Begitu memasuki gapura Pos Kancil, tantangan pertama langsung tersuguh di depan mata: sebuah jalur bebatuan yang menyerupai anak tangga dengan trek menanjak. Setelah kira-kira 20 menit menapaki tanjakan, kami menemui trek menurun dan langsung disambut oleh sebuah jembatan kayu. Tak lama berselang, kami mulai menjejakkan kaki di trek panjang yang agak menanjak dan melintasi beberapa sungai kecil. 

Sekitar 1 jam kemudian, kami tiba di sebuah persimpangan. Jalur yang lurus ke depan adalah jalur menuju puncak G. Salak 1, sedangkan yang berbelok ke kiri adalah jalur menuju Kawah Ratu. Kami mengambil jalur ke kiri dan menemukan sebuah sungai yang airnya sangat jernih. Tak mau menyia-nyiakan sajian alam tersebut, Dimas (salah satu dari kami) langsung mengeluarkan botol plastik dan mengisinya dengan air sungai tadi. Kebetulan, perbekalan air minum yang kami bawa sudah tersisa setengahnya. 

Beberapa meter di depan sungai ada camping ground yang dinamakan Pos Bajuri. Nama pos itu diambil dari nama Pak Bajuri yang beberapa tahun lalu mendirikan warung di area tersebut. Kini warung kecil Pak Bajuri sudah tidak ada, bahkan sisa fondasi atau jejak-jejak keberadaannya juga telah lenyap. 

Lepas dari Pos Bajuri, kira-kira 5 menit berjalan, kami disambut oleh sebuah saung yang agak besar, berbahan kayu tebal, dan kaki-kakinya lumayan tinggi dari permukaan tanah. Sayang kami tidak sempat menikmati keteduhan yang ditawarkan saung tersebut karena sudah beristirahat lumayan lama di Pos Bajuri. 

Selanjutnya, area kosong seukuran dua kali lapangan futsal membentang di hadapan kami. Area yang diselimuti rumput-rumput pendek itu dinamakan Helipad karena, konon, dulu digunakan oleh tentara Belanda sebagai landasan pendaratan helikopter untuk menyuplai logistik perang.

Setelah area helipad, permukaan jalur yang kami susuri mulai tampak basah dan lembab. Beberapa menit kemudian, kami kembali menyeberangi sungai yang arusnya agak deras, lalu mulai melintasi jalur yang di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi pohon pandan. “Awas, banyak daun pandan. Duri-durinya tajam, hati-hati kena muka!” kata Dimas, sambil melipir menghindari sebagian daun pandan yang menjuntai hingga ke tengah jalur.

Beberapa menit kemudian, hidung kami mulai menangkap bau asap solfatara, pertanda Kawah Ratu sebentar lagi bakal tersaji di depan pelupuk mata. Setelah melewati tanah-tanah becek, licin, berlumpur, dan bentangan akar-akar pohon, akhirnya kami tiba di sebidang tanah berumput yang di sebelah kanannya ada beberapa batu besar. 

Sebuah papan peringatan tentang bahaya gas beracun terpancang di depan batu-batu besar tersebut. Dan di seberang papan pengumuman itu tampaklah hamparan si empunya bau solfatara yang sejak beberapa menit lalu mengusik indera penciuman kami: Kawah Ratu (1.338 mdpl). 

Batu-batu berwarna abu-abu dan hitam berserakan di atas permukaan tanahnya yang miring dan tampak gosong. Asap-asap putih yang keluar dari belasan fumarol (lubang di dalam kerak bumi) berkeliaran di sekeliling kawah. Di sisi kanan kawah, sebuah fumarol besar terus menyemburkan asap putih pekat disertai suara gemuruh dan desis kencang. 

Menyadari sangarnya sosok si kawah, rasa gentar mulai menguasai benak saya. Ingatan tentang bahayanya gas beracun dari Kawah Dieng di Jawa Tengah beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul. Bahkan tebersit pula memori ihwal tragedi Kawah Sinila di Gunung Dieng yang pada tahun 1979 secara tiba-tiba menyemburkan gas karbon monoksida (CO) sehingga menewaskan 149 orang. Apalagi, pada Juli 2007 silam, enam anggota pramuka dari SMPN 67 Jakarta Selatan juga tewas akibat gas CO setelah mereka mencuci muka dengan air belerang Kawah Ratu. Alhasil, detik itu juga saya berniat membatalkan rencana melintasi kawah ini. 

Tapi, untungnya, saya melihat ada beberapa pengunjung lain sedang berjalan dari tengah kawah menuju ke arah kami. Artinya, Kawah Ratu berada dalam status aman, tidak berbahaya. Rasa takut tadi langsung saya tepis jauh-jauh. “Ayo dah kita langsung turun ke kawah aja. Terus kita nyeberang. Trek ke Pasir Reungit ada di sana,” kata Mulyadi sambil menyandang tas ranselnya kembali. 

Lagi-lagi kami harus menerobos jalur sempit di antara semak belukar dan melangkahi akar-akar pohon dengan trek menurun, hingga akhirnya sampai di bibir kawah. Dari tempat itu, kontur permukaan kawah kelihatan sangat kasar dan tandus, menyerupai wajah hutan setelah dilahap api. 

Kami terus berjalan menyeberangi salah satu cabang Sungai Cikuluwung dan mulai menapak pada area kosong yang agak tinggi serta hanya dipenuhi batu-batuan. Beberapa puluh meter berjalan ke depan, kami mencapai bagian tengah kawah. Dari titik tersebut, saya bisa melihat sekeliling kawah yang luasnya kira-kira 30 hektar ini. 

Di depan kami ada cekungan besar dan panjang yang di tengahnya juga terdapat Sungai Cikuluwung, lengkap dengan batu-batu serta kabut yang menyelimutinya. Dengan tangan bersandar pada tebing, perlahan-lahan kami menuruni cekungan tadi dan mendekati sungai untuk mencicipi airnya yang hangat-panas. 

Dari dekat, ternyata arus sungai yang membelah Kawah Ratu ini cukup deras. Di beberapa bagian, dasar sungai tertutup oleh pasir dan endapan kapur. Sedangkan bagian pinggir sungai dipenuhi batu-batuan, pasir, dan tanah vulkanik. Meskipun dangkal (kedalamannya hanya mencapai lutut), sungai yang airnya kelihatan mendidih ini agak sulit diseberangi karena tidak ada jembatan atau alat bantu penyeberangan. Alhasil, kami harus mencari celah sungai yang batu-batuannya dapat dijadikan sebagai pijakan untuk menyeberang. 

Tiba di seberang sungai, saya menemukan beberapa rekahan tanah yang menyemburkan asap belerang, bahkan saya tidak sengaja menginjak salah satunya. Tapi ternyata penyeberangan tadi belum selesai. Di depan kami masih ada cabang sungai yang sama dengan kesulitan yang juga sama. Saat itu saya sadar ternyata kami masih ada di tengah sungai yang kebetulan terpecah menjadi dua cabang. 

Di sisi kanan dan kiri, asap belerang dari rekahan-rekahan tanah serta asap putih dari uap air panas terus bermunculan. Kami terjebak di antara dua cabang sungai yang airnya panas dan disergap kepulan asap. Untungnya, kami tidak merasa pusing atau mual. Bahkan, tanpa panik, beberapa orang di antara kami bermain air dan berfoto-foto ria ditemani kepulan asap putih tadi. Saat kepulan asap memudar, kami kembali memanfaatkan batu-batu sungai sebagai titian untuk melintas ke seberang. 

Beberapa meter di depan sungai, batu-batu hitam dan permukaan tanah yang gosong masih mendominasi pemandangan. Kemudian, di dataran yang agak tinggi, beberapa area tampak tertutup oleh tanah kapur putih. 

Kami lalu istirahat di bawah naungan pohon rasamala yang berjarak puluhan meter dari sungai. Beberapa buah manggis dan jeruk sebagai bekal tambahan langsung kami lahap. Roti-roti rasa cokelat, biskuit, sosis, dan botol minuman aneka warna berseliweran berganti tangan ke tangan dan mulut ke mulut. Dari tempat peristirahatan, saya melihat area di sebelah kiri dipenuhi pohon-pohon yang telah lama tumbang, kering, dan hangus akibat aktivitas kawah. 

Setelah puas berleha-leha, sekitar pukul 1 siang, kami kembali menggendong ransel. Kali ini jalur yang harus ditempuh menuju Pos Pasir Reungit mencapai 4 km dan bisa ditempuh dalam 2 jam. Diawali dengan jalan setapak yang becek, berlumpur, dan berkapur, jalur di depan kami masih dihiasi pohon-pohon tumbang dan kering. 

Beberapa menit bergerak, kami menginjak area Kawah Mati 2 di ketinggian 1.335 mdpl. Selain ditongkrongi oleh batu kali yang sangat besar, keberadaan kawah yang sudah tidak aktif ini juga ditandai oleh sebuah jalur air yang dipenuhi endapan belerang. 

Tak berapa lama setelah itu, kami memasuki area Kawah Mati 1 yang penampilannya lebih dramatis dibanding kawah mati sebelumnya. Di tempat ini terdapat banyak sekali pohon yang sudah hangus, menyerupai puing-puing sisa kebakaran hutan. 

Selanjutnya, kami memasuki hutan tropis yang lembab dan basah. Beberapa kali kami harus melintasi sungai-sungai kecil. Bahkan kami juga acap berjalan pada jalur-jalur air. Bisa dibilang, 75 persen jalur dari Kawah Ratu menuju Pos Pasir Reungit merupakan jalur air. Sekitar dua jam menyelusuri jalan setapak di antara rimbunnya hutan dan ditemani lembutnya suara gemericik air sungai, akhirnya kami tiba di Pos Pasir Reungit. 

Sebelum melangkah keluar, kami harus terlebih dahulu melapor kepada petugas jaga di Pos Pasir Leungit. Sambil meluruskan kaki yang sudah terasa pegal, salah satu dari kami menemui seorang penjaga pos. Di sekitar Pos Pasir Leungit ada tempat perkemahan dan beberapa toilet umum. Beberapa tenda tampak berdiri di sana. 

Setengah jam kemudian kami sudah dapat bersantai di sebuah warung di pinggir jalan dan menyeruput teh serta kopi panas. Setelah aksi bersih-bersih badan, kami pun melenggang pulang ke Jakarta. *** (Bonny Dwifriansyah, Juni 2011)


********************************************************************************





















 












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman