SUARA TANGIS DI PURA 'PRABU SILIWANGI'

Pura Hindu yang dianggap terbesar di Pulau Jawa ternyata ada di daerah Bogor? Pertanyaan itulah yang mengusik benak saya selama beberapa pekan belakangan. Tak mau berlama-lama dirundung penasaran, hari Minggu, 3 Juli 2011, saya langsung meluncur ke lokasi pura tersebut bersama seorang teman, Novi. 
Dari Stasiun Bogor, kami menumpangi angkot menuju Bogor Trade Mall, lalu men-charter sebuah angkot bernomor trayek 03 jurusan Ramayana-Ciapus. Setelah setengah jam melaju di Jalan Raya Ciapus, angkot kemudian berbelok ke kiri dan menyelusuri jalan yang penuh bopeng dan debu. 


Sekitar 500 meter kemudian, angkot kami berhadapan dengan jembatan yang di pinggirnya terdapat sebuah benda berbentuk kotak yang ditutupi kain putih dan kuning. Spontan, sopir angkot membunyikan klakson tiga kali. “Supaya tidak nyasar. Banyak mobil yang kesasar hanya karena tidak membunyikan klakson di jembatan ini, meskipun mereka sering ke sini,” tutur sang sopir. 

Ada tiga pilihan transportasi untuk mencapai Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya  Taman Sari Gunung Salak. Yang pertama adalah menggunakan kendaraan pribadi. Yang kedua, menggunakan jasa travel. Dan yang ketiga adalah dengan menyewa angkot seperti yang kami lakukan ini.  

Setelah menyusuri jalan kira-kira sejauh 1 km, kami tiba di halaman parkir kompleks pura. Tak ada sesuatu yang istimewa di halaman parkirnya. Tidak ada patung, kolam air mancur,  loket masuk, ataupun tugu simbol selamat datang. Yang ada hanyalah sebuah plang pendek bertulisan “Tata Tertib Memasuki Pura” yang tersembul di antara tanaman.

Saya menapaki jalan masuk yang menanjak, lalu menemui seorang pengayah (pengurus pura) yang bernama Made Santika atau biasa dipanggil Pak Made. Saat itu, Pak Made sedang duduk santai bersama dua kerabatnya pada sebuah joglo kecil di area yang dinamakan nista mandala (area luar yang masih satu kesatuan dengan kompleks pura). “Silakan masuk dan melihat-lihat lingkungan pura. Tapi sebelumnya, setiap tamu yang datang harus mengikatkan selendang ini di pinggang,” tutur Pak Made sambil menyodorkan dua helai kain berwarna kuning. Belakangan, saya mendapat tahu bahwa pemakaian selendang tersebut adalah simbol pengikat niat-niat buruk, sekaligus penghormatan terhadap kesucian pura. 

Setelah itu, saya harus kembali menaiki anak tangga hingga akhirnya menginjak sebuah area berupa halaman rumput yang luas. Area tersebut dinamakan madya mandala, yakni bagian tengah kompleks pura. Bau harum bakaran dupa langsung menyentuh hidung kami. Sekitar 4 meter di depan kami ada sebuah plang kecil bertulisan “Tempat Sandal & Sepatu”. Takut terkena tulah, kami langsung melucuti alas kaki masing-masing dan menyelipkannya di rak yang disediakan.

Di bagian depan area madya mandala terdapat patung Dewa Ganesha, yakni  Dewa Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan dalam agama Hindu. Di hadapan patung itu, lima pemedek (jemaah umat Hindu) berbaju putih dan bersarung batik sedang duduk dengan kedua telapak tangan dalam posisi sembah setinggi dahi. “Sssttt… jangan berisik! Ada yang sedang sembahyang,” ujar Novi sambil mencolek pinggang saya. 

Perhatian saya lalu tertuju pada tiga bangunan yang menyerupai Candi Prambanan. Tiga bangunan hitam  itu dinamakan Kori Agung, yakni pintu gerbang memasuki utamaning mandala (area paling atas dan paling suci). Tiap-tiap Kori Agung yang berjejer itu memiliki anak tangga sebagai titian antara madya mandala dan utamaning mandala. 

Seorang pemangku (pemimpin upacara sembahyang di pura umat Hindu) tiba-tiba muncul dari salah satu Kori Agung, lalu berjalan menuruni anak tangga sambil membawa tampah. Beberapa pria dan wanita dewasa mengikuti sang pemangku dari belakang. Rupanya mereka baru saja selesai melakukan ritual di area utamaning mandala.

Mata saya terus berkeliling memandangi sudut demi sudut madya mandala. Ada sebuah balai yang menyerupai rumah joglo. Balai yang dinamakan Bale Pengambuhan ini berfungsi sebagai tempat beristirahat, musyawarah, atau tempat mempersiapkan sesaji. Ada pula sebuah pelinggih atau pura kecil yang digunakan para pemedek untuk bersembahyang sebelum mereka menuju ke pura utama di utamaning mandala. 


Suasana yang semula hening berubah menjadi sedikit riuh oleh datangnya sekelompok pemedek lain yang didominasi oleh kaum perempuan dewasa berkebaya putih, bersarung batik, serta berselendang. Sementara pemedek laki-lakinya mengenakan kemeja putih, kain sarung, serta udeng putih. Mereka lalu berkumpul di Bale Pengambuhan untuk mempersiapkan sesajen. Pisang, telur, anggur, jeruk, apel, kerupuk,  aneka warna bunga, dan pernak-pernik janur kuning disatukan dalam beberapa besek. Setelah lengkap, beberapa besek tadi diletakkan di atas meja panjang yang ada di area pelinggih. 

Beberapa menit kemudian, seorang pemangku mengambil posisi duduk pada sebuah mimbar di area pelinggih. Ada beberapa pemedek yang juga duduk di sekitar sang pemangku, sedangkan sebagian besar lainnya duduk di Bale Pengambuhan dan siap mengikuti prosesi sembahyang. Tak lama kemudian, terdengar suara kleneng-kleneng dari sebuah lonceng kecil yang digoyang-goyangkan oleh pemangku, disusul ucapan mantra yang cukup panjang.

Tiba-tiba dari area pelinggih terdengar suara sengau panjang yang lama-lama berubah menjadi suara tangis, diselingi ucapan-ucapan dalam bahasa Bali. Mata semua pemedek langsung tertuju ke arah suara aneh tersebut. Saya menangkap itu adalah suara laki-laki yang tengah kesurupan. Sang pemangku mencoba berkomunikasi dengan orang yang kesurupan itu dan berusaha menenangkannya. Selang beberapa menit kemudian, suara tangis pun reda dan berganti kembali menjadi suara klenengan lonceng.

Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya  mulai dibangun pada tahun 1995, tapi baru diresmikan pada tahun 2005. Pura ini dibangun perlahan-lahan secara gotong royong oleh umat Hindu-Bali serta para donatur di bawah naungan Yayasan Taman Sari. Pihak yayasan telah menghabiskan dana sekitar Rp 150 miliar untuk membangun pura yang luasnya mencapai tiga hektar ini. Bahkan, pihak yayasan mengaku masih membutuhkan banyak dana untuk menyempurnakan Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya. Sebab, pembangunan tempat peribadatan ini baru mencapai 30 persen. 

Salah satu alasan mengapa Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya  dibangun di Kampung Warung Loak di kaki Gunung Salak adalah untuk menghormati Prabu Siliwangi sebagai Raja Padjajaran paling berpengaruh di Tatar Sunda (Jawa Barat), sekaligus menjadi bentuk penghargaan bagi Tatar Sunda sebagai titik awal penyebaran agama Hindu di tanah Jawa. 

Konon, area Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya dianggap sebagai salah satu petilasan Prabu Siliwangi dan bahkan tempat ia menghilang secara gaib bersama para prajuritnya saat dikejar oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Prabu Kian Santang (anak kandung Prabu Siliwangi). Waktu itu, Prabu Kian Santang mencoba memaksa ayahanda memeluk agama Islam. 



Alasan lainnya, pada tahun 1981, area ini dikenal sebagai tempat batu menyan, yakni batu yang selalu mengeluarkan asap dupa. Di batu itu pula masyarakat sering melihat cahaya putih yang turun dari langit. Hal itu dibenarkan oleh seorang pemangku yang bernama I Nyoman Randeg, yang dulu sering bersemedi di tempat ini. Bahkan ia juga mengaku sering mengalami kejadian aneh, misalnya melihat candi secara tiba-tiba atau didatangi seorang laki-laki gagah berusia 50 tahunan yang mengenakan atribut ala seorang raja. Nyoman Randeg juga pernah melihat laki-laki tersebut duduk di singgasana dengan dikelilingi puteri-puteri nan ayu. Di kemudian hari, Nyoman Randeg akhirnya menyadari bahwa laki-laki misterius tadi adalah arwah Prabu Siliwangi. 

Begitu pula hal yang dialami para tokoh Hindu Bali lainnya yang juga sering menyepi di Kampung Warung Loak. Alhasil, mereka meyakini bahwa area tersebut memancarkan  aura mistik yang sangat kuat dan memiliki kaitan erat dengan figur Prabu Siliwangi. Mereka  pun berasumsi bahwa saat Kerajaan Padjajaran masih berdiri pada abad ke-14 M, di lereng Gunung Salak pernah ada sebuah candi. Itulah sebabnya pihak yayasan juga membuat candi di pura ini. 

Pemberian nama pura ini pun dilakukan dengan sangat hati-hati. Setelah para pemuka agama Hindu dari Jabotabek, Lampung, dan Bali berdiskusi, akhirnya disepakati bahwa nama pura ini adalah Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya Taman Sari Gunung Salak. 

Kata parahyangan berarti ‘tempat Sanghyang Widhi; kata agung berarti ‘besar atau mulia’; kata jagat berarti bumi; dan kata kartta berarti ‘lahir’ atau ‘muncul’. Sedangkan kata taman sari diambil dari nama kecamatan tempat pura ini berada. Dengan demikian, keseluruhan nama pura ini bermakna “pura tempat yang indah dan mulia sebagai istana Tuhan Yang Maha Agung di Kecamatan Taman sari Gunung Salak.

Sebagai pura terbesar di Pulau Jawa, Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya juga akan memiliki asrama dan gedung perpustakaan. Bahkan pura ini juga digadang-gadangkan bakal menjadi pelopor pura modern serta pusat pembinaan generasi muda Hindu seiring dengan bakal dibangunnya jaringan internet serta stasiun radio. 

Kembali ke prosesi ritual para pemedek. Kira-kira setengah jam kemudian, persembahyangan diakhiri dengan pemercikan air suci dan penempelan sejumput bija (beras yang disucikan) di dahi para pemedek. Setelah itu, mereka mengemas beberapa besek yang sudah terisi sajen untuk dibawa ke utamaning mandala. 

Saya menyempatkan diri untuk berbincang sebentar dengan sang pemangku. Diawali dengan perkenalan diri, saya menanyakan ihwal sembahyang yang dilakukan tadi. “Ritual tadi hanya sembahyang biasa yang bisa dilakukan kapan saja,” tutur sang pemangku yang bernama Jero Mangku Nengah Widiana. “Kalau mau melihat ritual besar di pura ini, datanglah pada hari Piodalan di bulan September nanti,” ujarnya. (Piodalan adalah peringatan hari kelahiran pura yang dirayakan dengan upacara pemujaan Tuhan). 

Setelah itu, kami meniti anak tangga menuju area utamaning mandala. Demi menjaga kekhusyukan para pemedek yang beritual di pura induk, kami hanya diperbolehkan melihat-lihat sekeliling dari gerbang Kori Agung. Di area yang dianggap paling kudus tersebut tampak sebuah pelataran menyerupai taman yang di kiri dan kanannya ada beberapa buah saung. 

Di seberang pelataran ada sebuah candi yang “dijaga” oleh dua patung macan putih dan hitam, sebuah padmasana, sebuah balai, serta beberapa buah pelinggih. Jauh di belakang bangunan-bangunan suci tersebut, kabut tebal tampak mengambang di atas rerimbunan hutan dan gugusan bukit Gunung Salak. 

Menyadari hari yang menjelang sore, akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi kunjungan di pura yang sarat sejarah ini. Usai memohon pamit kepada Pak Made dan mencemplungkan uang ala kadarnya ke dalam kotak sumbangan di area nista mandala, kami beranjak menuju jalan keluar. Suasana mendung menemani perjalanan pulang kami menuju Jakarta.  *** (Teks dan foto oleh Bonny Dwifriansyah) 

******************************************************************************
















7 komentar:

  1. Permisi kang.
    Saya mau tanya, kalau misalkan datang ke sini harus ada izin atau boleh langsung?
    Lalu apabila ada contact person nya saya boleh minta?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau pengalaman sya waktu itu sya bisa masuk (desember 2019). Tpi itu jga nggak lama. Cuma sekedar melihat2 sja..

      Hapus
  2. Permisi kang.
    Saya mau tanya, kalau misalkan datang ke sini harus ada izin atau boleh langsung?
    Lalu apabila ada contact person nya saya boleh minta?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini field reportnya:

      https://zaeabjal.blogspot.com/2019/12/fr-melihat-keindahan-dan-keasrian-pura.html?m=1

      Hapus
  3. Apakah terbuka untuk umum?
    Hari apa dan jam brpa terima kasih

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Best new slots and casino bonuses for new slots and 메리트 카지노 고객센터 메리트 카지노 고객센터 planet win 365 planet win 365 10cric 10cric 546Harrah's Hotel Tahoe | ThTopBet

    BalasHapus

Laman